Toko Buku Online Belbuk.com Toko Buku Online Belbuk.com

analisis peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) nomor 2 tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan

Analisis mengenai PERPPU nomor 2 tahun 2017
Mengenai organisasi kemasyarakatan
     I.          Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu Negara hukum di dunia. sehingga dalam pelaksanaan pemerintahannya, haruslah berlandaskan kepada adanya sebuah aturan hukum.
Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang tatacara pembentukan perundang-undangan, menjadi sebuah dasar pembentukan sebuah produk hukum di Indonesia. Yang dimana produk-produk hukum tersebut menjadi sebuah aturan dasar, atau rel untuk berjalannya sebuah pemerintahan di Negara ini.
Berdasarkan pasal 2 undang-undang nomor 12 tahun 2011 menyebutkan “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.” Sehingga semua peraturan di bawahnya, dianggap memiliki atau sudah menjadi sebuah interprestasi akan sebuah nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila itu sendiri.
Di dalam pasal 7 undang-undang nomor 12 tahun 2011, menyebutkan pula tentang hirarki perundang-undangan yang terdapat di Indonesia. Adapun yang menjadi sebuah hirarki yang dimaksud di dalam pasal tersebut, adalah sebagai  berikut :
a.     Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.     Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.    Peraturan Pemerintah;
e.     Peraturan Presiden;
f.     Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Belakangan ini, menjadi sebuah pembahasan menarik mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi kemasyarakatan. Yang dimana perppu ini lahir, sebagai mana yang tercantum dalam pertimbangan pembentukan perppu ini adalah sebagai berikut :
a.     Bahwa negara berkewajiban melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.     Bahwa PELANGGARAN TERHADAP ASAS DAN TUJUAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN YANG DIDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 merupakan perbuatan yang sangat tercela dalam pandangan moralitas bangsa Indonesia terlepas dari latar belakang etnis, agama, dan kebangsaan pelakunya;
c.      Bahwa UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2OL3 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN MENDESAK UNTUK SEGERA DILAKUKAN PERUBAHAN KARENA BELUM MENGATUR SECARA KOMPREHENSIF MENGENAI KEORMASAN YANG BERTENTANGAN DENGAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 sehingga terjadi KEKOSONGAN HUKUM DALAM HAL PENERAPAN SANKSI YANG EFEKTIF;
d.     Bahwa TERDAPAT ORGANISASI KEMASYARAKATAN TERTENTU YANG DALAM KEGIATANNYA TIDAK SEJALAN DENGAN ASAS ORGANISASI KEMASYARAKATAN SESUAI DENGAN ANGGARAN DASAR ORGANISASI KEMASYARAKATAN YANG TELAH TERDAFTAR DAN TELAH DISAHKAN PEMERINTAH, dan BAHKAN SECARA FAKTUAL TERBUKTI ADA ASAS ORGANISASI KEMASYARAKATAN DAN KEGIATANNYA YANG BERTENTANGAN DENGAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945;
e.      Bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan belum menganut asas cantrarius actus[1] sehingga tidak efektif untuk menerapkan sanksi terhadap organisasi kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Sehingga dalam hal ini, perlu sebuah kajian mengenai mekanisme penerbitan perppu, perppu dalam sebuah hirarki perundang-undangan, perppu dalam menyikapi keorganisasian masyarakat dalam lingkup kewenangan Negara dengan kebebasan berserikat warga Negara, perppu dalam penerapannya.
 II.          Dasar hukum
Dalam melakukan pembahasan  ini, adapun aturan atau undang-undang yang Digunakan Adalah Sebagai Berikut :
1.      Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
2.      Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
3.      Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Keorganisasian Masyarakat;
4.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017;
5.      Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138 / Puu-VII / 2009;
6.      Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
7.      UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya
8.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
9.      Doktrin atau Pendapat Para Ahli
III.          Kajian
Dalam hal melakukan kajian hukum, mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Keorganisasian Masyarakat. Dapat dilakukan dengan sebagai berikut :

a.       Pengujian terhadap pembentukan
Berdasaran Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 22 ayat (1) yang berbunyi : “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Sehingga secara eksplesit menyebutkan bahwa sudah menjadi sebuah kewenangan seorang presiden dalam membuat sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Yang dimana Peraturan pemerintah Pengganti undang-undang tersebut, materi muatannya sama dengan materi muatan Undang-Undang. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Materi muatan yang dimaksud dijelaskan dalam pasal 10 undang-undang nomor 12 tahun 2011, adalah sebagi berikut :
(1) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(2) Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
(3) Pengesahan perjanjian internasional tertentu;
(4) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
(5) Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Peraturan pemerintah Pengganti undang-undang ini, hanya bersifat sementara. Sehingga perppu yang sudah di undangkan dan ditandatangani oleh presiden, harus diajukan kepada DPR dalam bentuk Draft Rancangan tentang penetapan perppu menjadi Undang-undang. Adapun draft Rancangan yang dimaksud, mengenai mekanisme pembahasan hingga penetapan yang dilakukan oleh DPR. Menggunakan sebuah mekanisme yang sama dengan perancangan hingga penetapan sebuah undang-undang. Namun disini DPR hanya akan mengeluarkan sebuah keputusan mengenai menolak atau tidaknya sebuah perppu yang diajukan.
Jika Perppu tersebut ditolak DPR, maka Perppu tersebut tidak berlaku, dan Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Perpu tersebut, yang dapat pula mengatur segala akibat dari penolakan tersebut.
Hal diatas sebagaimana yang tercantum dalan Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 22 ayat (2), dan (3), yang berbunyi :
(2)   Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3)   Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
b.      Penolakan Perpu Oleh DPR Dan Akibat Hukumnya
Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang merupakan salah satu sumber tertib hukum di Indonesia. Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang merupakan hak inisiatif dan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada Presiden yang keberlakuannya mengikat layaknya Undang-Undang.
Pertimbangan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang adalah hal ikhwal kegentingan yang memaksa, yang penilaiannya tergantung kepada subyektifitas Presiden.
Terkait hal ihwal kegentingan yang memaksa ini, belum ada kriteria dan standar yang jelas untuk suatu hal dikatakan kegentingan yang memaksa dalam hal bernegara. Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang dibenarkan oleh Undang-Undang, maka dibutuhkan penilaian dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk menetapkan PERPU menjadi Undang-Undang.
Adapun penilaian dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah disetujui atau ditolak. Permasalahan muncul ketika PERPU ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Bagaimana akibat hukumnya atas penolakan PERPU oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden harus mengajukan rancangan Undang-Undang pencabutan PERPU yang dapat mengatur segala akibat dari penolakan tersebut.
Sedangkan pengujian terhadap PERPU (Perpu) dalam konstitusi dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah jelas diatur bahwa Dewan Perwakilan Rakyat melakukan penilaian atau melakukan pengujian politik (political review) atas PERPU. Apabila disetujui menjadi Undang-Undang, maka Undang-Undang tersebut baru dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi
c.         Hak Subyektif “Terbatas” yang dimiliki oleh seorang Presiden
“Keberanian” Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpu tidak lepas dari perdebatan tentang subyektifitas presiden dalam menafsirkan “hal kegentingan memaksa” yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Penafsiran subyektif Presiden dalam pasal 22 harus dibedakan dengan penafsiran obyektif yang diatur dalam Pasal 12 UUD 1945. Dalam kondisi bahaya atau tidak normal, UUD Negara RI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk melakukan tindakan khusus.
Tindakan khusus yang diberikan oleh UUD 1945 diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12 menyebutkan Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. UUD 1945 dengan tergas mengamanatkan adanya undang-undang yang mengatur keadaan bahaya yang saat ini diatur lebih lanjut dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Terhadap keadaan bahaya yang diatur dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 ini, Presiden hanya dapat menafsirkan secara obyektif. Dalam hukum tata negara tidak  tertulis tidak tertulis dan dikenal dengan sebutan noodstaatsrecht.

Menurut Harun Al Rasyid (dalam Kleden & Waluyo, Ed., 1981: 76-77 dan 105), dalam noodstaatsrecht, undang-undang keadaan bahaya selalu ada, pelaksanaan berlakunya keadaan bahaya dituangkan dalam keputusan presiden. Noodstaatsrecht harus dibedakan dari staatsnoodrecht. Menurut doktrin staatnoodrecht, jika negara dalam keadaan darurat kepala negara boleh bertindak apapun bahkan melanggar undang-undang dasar sekalipun demi untuk menyelamatkan negara. Staatnoodrecht merupakan hak darurat negara, bukan hukum. Di Indonesia, Dekrit Presiden 5 Juli 1949 yang menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, menurut Prof. Wiryono didasarkan pada doktrin staatnoodrecht.
Menurut Mahfud MD pembenaran dekrit tidak hanya didasarkan pada staatnoodrecht tetapi juga berdasarkan pada prinsip salus populis supreme lex (keselamatan rakyat adalah dasar hukum tertinggi).
Akan tetapi, menurut M. Hatta, Prawoto Mangkusasmito (dalam Mahfud MD: 2001: 136) serta Yusril Ihza Mahendra (2001) yang menyetujui pendapat Prof. Logeman, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum di bidang ketatanegaraan.

Menelisik ke belakang, ketentuan Pasal 22 (dan Pasal 12) merupakan teks asli UUD 1945 yang tidak diamandemen. Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa, Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh sebuah lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat.

Indrianto Seno Adji (2002) mengatakan, dalam Hukum Tata Negara dikenal asas hukum darurat untuk kondisi darurat atau abnormale recht voor abnormale tijden. Asas ini kemudian menjadi hak prerogatif presiden seperti dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Jimly Ashiddiqie (2006: 80-85), Perpu sebagai emergency legislation yang didasarkan pada alasan innernootstand (keadaan darurat yang bersifat internal) adalah dalam kegiatan seperti berikut:
(1)   mendesak dari segi substansi, dan
(2)   situasi genting dinilai dari segi waktunya.

Sementara itu, Bagir Manan dalam buku Teori dan Politik Konstitusi (2004) mengatakan, “hal ihwal kegentingan yang memaksa" merupakan syarat konstitutif yang menjadi dasar kewenangan presiden dalam menetapkan perppu. Apabila tidak dapat menunjukkan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak berwenang menetapkan perppu. Perppu yang ditetapkan tanpa adanya hal ihwal kegentingan maka batal demi hukum (null and void), karena melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa wewenang.
Hal ihwal kegentingan yang memaksa juga harus menunjukkan beberapa syarat adanya krisis, yang menimbulkan bahaya atau hambatan secara nyata terhadap kelancaran menjalankan fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, muatan perppu hanya terbatas pada pelaksanaan dari fungsi pemerintahan (administratief rechtelijk).

Tentang muatan dan cakupan Perpu sendiri, Jimly Ashiddiqie membenarkan pendapat Bagir Manan, bahwa sifat inner notstand sebagai alasan pokok hanya dapat dijadikan alasan ditetapkannya Perpu sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan yang memerlukan dukungan payung hukum setingkat undang-undang.
Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, jelas bahwa Presiden mempunyai keterbatasan dalam menggunakan hak subyektifnya dalam mengeluarkan perpu. Presiden hanya bisa menggunakan haknya sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan. perlu ditegaskan bahwa ketentuan UUD 1945 tentang hak presiden menafsirankan keadaan darurat dan kegetingan memaksa bukan merupakan hak tanpa batas. Hak mengeluarkan perpu (atau bahkan Dekrit) tanpa batas malah akan menjadikan bangsa Indonesia ini sebagai bangsa yang berjalan mundur.

Mahkamah Konstitusi berhak dan berwenang untuk melakukan pengujian Perpu terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kesimpulan tersebut dilatar belakangi oleh sudut perspektif dalam menginterprestasikan hukum secara subyektif. Sebagai negara hukum, sedianya tidak hanya bersandarkan pada konsep hukum tertulis sebagaimana diketahui Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji Perppud engan alasan tidak ditemukan pengaturan dalam UUD 1945, namun juga memperhatikan sumber hukum lainnya seperti asas-asas hukum, prinsip Hak  Asasi Manusia dan kepentingan sebagian besar masyarakat. Dengan memperhatikan pluralisme sumber hukum tersebut, suatu produk konstitusi dapat senantiasa bertahan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Diperlukannya penguji untuk :
·         Menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power);
·         Menghindari kekakuan hukum; dan
·         Menghindari kerugian yang dapat berdampak luas pada masyarakat
d.        Asas Centrarius actus menjadi salah satu alasan penerbitan Perppu nomor 2 tahun 2017.
Asas Centarius Actus merupakan suatu asas yang digunakan dalam sebuah system hukum administrasi Negara. Dimana asas tersebut memiliki pengertian sebagai berikut : “ketika suatu badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya juga (otomatis), badan/pejabat tata usaha yang bersangkutan yang berwenang membatalkannya.” 
Hal tersebut menjadi sesuatu yang menarik, mengingat berdasarkan undang-undang yang terdahulu (Undang-Undang nomor 17 tahun 2013) terdapat sebuah skema kewenangan dari pemerintah daerah, pengadilan dan mahkamah agung (Yudikatif) dalam menentukan pelanggaran yang terjadi oleh organisasi kemasyarakatan. Namun karena alasan tersebut, malah menghilangkan kewenangan yang dimiliki oleh kedua lembaga dan atau tingkatan pemerintahan tersebut.
Selain itu, dalam upaya pembubaran yang akan dilakukan pasca penerapan perppu ini, adalah tidak adanya sebuah upaya persuasif dari pemerintah dalam menertibkan organisasi-organisasi masyarakat yang dianggap melanggar.
Alasan penerapan dan Kekosongan hukum dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2013, dengan menerbitkan Perppu nomor 2 tahun 2017 malah menghadirkan ketakutan dalam kebebasan berekspresi dan beragama untuk melakukan kegiatan berserikat dan berorganisasi di masyarakat
e.       Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 2 tahun 2017 dari pandangan hak asasi manusia mengenai kebebasan berekspresi dan beragama, serta kebebasan berserikat.
Dari pembahasan di atas, dapat di pahami bahwa PERPPU bukanlah suatu undang-undang. Mengingat masih perlunya sebuah proses pengakuan dari legislatif, namun mengenai kedudukannya perppu memiliki kedudukan yang sama dengan undang-undang. Sehingga dalam hal pembatasan Hak Asasi Manusia yang dimaksud oleh Perppu ini, menjadi sesuatu hal yang tidak tepat.
Berikut ini adalah cakupan pengurangan hak asasi manusia berdasarkan prinsip siracusa yang dapat di gunakan dalam pembahasan perppu ini:
                                           I.     Prinsip Penafsiran Umum yang berhubungan dengan justifikasi pembatasan
a.    Tidak ada pembatasan atau alasan yang diijinkan untuk menerapkan pembatasan untuk hak-hak yang dijamin oleh Kovenan, selain yang tercantum dalam ketentuan Kovenan itu sendiri.
b.    Cakupan pembatasan yang merujuk pada Kovenan tidak dapat ditafsirkan hingga membahayakan esensi hak itu sendiri.
c.    Semua ketentuan pembatasan hak harus ditafsirkan secara ketat dan mendukung hak-hak tersebut.
d.   Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak tertentu yang terkait.
e.    Semua pembatasan di dalam suatu hak yang diakui oleh Kovenan harus disediakan oleh hukum dan cocok dengan maksud dan tujuan Kovenan.
f.     Tidak ada pembatasan (merujuk pada Kovenan) yang diterapkan untuk tujuan apapun selain tujuan yang telah ditetapkan.
g.    Tidak ada pembatasan yang diterapkan secara sewenang-wenang.
h.   Setiap pembatasan yang dikenakan harus diarahkan pada kemungkinan tantangan untuk dan pemulihan terhadap penerapan pembatasan yang buruk (abusive)
i.      Tiada ada pembatasan (pada suatu hak yang diakui oleh Kovenan) yang mendiskriminasi dan bertentangan dengan Pasal 2, paragraf 1.
j.      Setiap kali pembatasan di dalam Kovenan mensyaratkan istilah “diperlukan” (necessary), maka ketentuan ini mengimplikasikan bahwa pembatasan:
a)    didasarkan pada salah satu alasan yang membenarkan pembatasan yang diakui oleh pasal relevan dari Kovenan;
b)    merespon tekanan publik atau kebutuhan social
c)    mencapai tujuan yang sah, dan
d)   sebanding dengan tujuan itu.
Setiap penilaian mengenai perlunya pembatasan harus dilakukan pada pertimbangan objektif.
·           Dalam menerapkan pembatasan, suatu negara seharusnya tidak lagi menggunakan upaya pembatasan lebih dari pembatasan yang ditetapkan untuk pencapaian tujuan pembatasan.
·           Beban justifikasi pembatasan terhadap hak yang dijamin di dalam Kovenan bertumpu pada negara.
·           Persyaratan yang dinyatakan di dalam Pasal 12 Kovenan, bahwa setiap pembatasan konsisten dengan hak-hak lain yang diakui dalam Kovenan, tersirat dalam pembatasan hak-hak lain yang diakui dalam Kovenan.
·           Ketentuan pembatasan Kovenan tidak boleh ditafsirkan untuk membatasi pelaksanaan HAM yang dilindungi lebih daripada kewajiban internasional lainnya yang mengikat negara.
                                       II.          Prinsip-prinsip Penafsiran yang Berhubungan dengan Ketentuan Pembatasan Khusus
a.    “ditetapkan oleh hukum”
·      Tidak ada pembatasan dalam pelaksanaan HAM yang harus dilakukan kecuali disediakan oleh hukum nasional yang berlaku umum, yang konsisten dengan Kovenan, dan berlaku pada saat pembatasan diterapkan.
·      Hukum yang membatasi pelaksanaan HAM tidak boleh berlaku secara sewenang-wenang atau tidak beralasan.
·      Aturan hukum yang membatasi pelaksanaan HAM harus jelas dan dapat diakses oleh setiap orang.
·      Perlindungan memadai dan pemulihan efektif atas pemaksaan yang illegal atau kasar (abusive) atau penerapan pembatasan HAM harus disediakan oleh hukum.
b.    “dalam masyarakat demokratis”
·      Ungkapan “dalam masyarakat demokratis” harus ditafsirkan bahwa penerapan pembatasan lebih lanjut pada ketentuan pembatasan itu telah memenuhi syarat.
·      Beban terletak pada negara yang menerapkan pembatasan, sehingga memenuhi syarat untuk menggambarkan bahwa pembatasan tidak merusak bekerjanya demokrasi dalam masyarakat.
·      Meskipun tidak ada model tunggal mengenai masyarakat demokratis, suatu masyarakat yang mengakui dan menghormati HAM yang diatur dalam Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM (DUHAM) boleh digambarkan sebagai definisi tentang masyarakat demokratis.
c.    “Ketertiban Umum”
·      Ungkapan “ketertiban umum” yang digunakan dalam Kovenan dapat didefinisikan sebagai sejumlah aturan yang menjamin bekerjanya masyarakat atau seperangkat prinsip-prinsip dasar dimana masyarakat dibangun. Menghormati HAM adalah bagian dari ketertiban umum.
·      Ketertiban umum harus ditafsirkan dalam konteks tujuan hak-hak tertentu yang dibatasi dalam bidang ini.
·      Alat-alat atau agen-agen negara yang bertanggung jawab atas pemeliharaan ketertiban umum harus menjadi pihak yang dikontrol dalam penggunaan kekuasaan mereka, melalui parlemen, pengadilan, atau badan-badan independen lain yang kompeten.
d.   “Keamanan Nasional”
·      Keamanan nasional dapat dijadikan justifikasi untuk membenarkan tindakan yang membatasi hak-hak tertentu hanya jika digunakan untuk melindungi keberadaan bangsa atau integritas teritorialnya atau kemerdekaan politik terhadap kekerasan atau ancaman kekerasan.
·      Keamanan nasional tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembatasan hanya untuk mencegah ancaman lokal atau ancaman hukum dan ketertiban yang relatif terisolasi.
·      Keamanan nasional tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk memaksakan pembatasan yang samar atau sewenang-wenang dan hanya dapat digunakan jika ada perlindungan memadai dan pemulihan efektif terhadap penyelewengan.
·      Pelanggaran HAM sistematis melemahkan keamanan nasional dan dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Suatu Negara yang bertanggung jawab atas pelanggaran semacam itu tidak boleh menjadikan keamanan nasional sebagai pembenar atas tindakan yang bertujuan untuk menekan oposisi atau melakukan praktek-praktek represif terhadap penduduknya.
e.    “Keselamatan publik”
·      Keselamatan publik adalah perlindungan terhadap bahaya yang mengancam keselamatan orang, hidup atau integritas fisik, atau kerusakan serius atas harta benda mereka.
·      Kebutuhan untuk melindungi keselamatan publik dapat menjustifikasi pembatasan yang ditetapkan oleh hukum. Ketentuan ini tidak dapat digunakan untuk memaksakan pembatasan yang samar atau sewenangwenang dan hanya dapat digunakan ketika ada perlindungan memadai dan pemulihan efektif terhadap penyelewengan.
                                    III.          PENGURANGAN DALAM DARURAT PUBLIK
a.    “Darurat Publik yang Mengancam Kehidupan Bangsa”
·      Negara pihak dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajibannya berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik sesuai Pasal 4 (selanjutnya disebut “langkah-langkah pengurangan”) hanya bila menghadapi situasi bahaya yang luar biasa dan aktual atau bahaya yang bersifat segera yang mengancam kehidupan bangsa. Suatu ancaman bagi kehidupan bangsa adalah salah satu yang:
o  mempengaruhi seluruh penduduk dan, baik seluruh atau sebagian, wilayah negara, dan;
o  mengancam integritas fisik penduduk, kemerdekaan politik atau keutuhan wilayah negara atau keberadaan atau fungsi dasar dari lembaga yang sangat diperlukan untuk menjamin HAM yang diakui dalam Kovenan.
·      Konflik internal dan kerusuhan yang bukan merupakan ancaman besar dan bersifat segera bagi kehidupan bangsa tidak dapat membenarkan pengurangan hak berdasarkan Pasal 4.
·      Kesulitan ekonomi saja tidak dapat membenarkan tindakan pengurangan hak.
b.    Pernyataan, Pemberitahuan, dan Penghentian Darurat Publik
·         Negara pihak yang mengurangi kewajibannya berdasarkan Kovenan harus membuat pernyataan resmi tentang keberadaan darurat publik yang mengancam kehidupan bangsa.
·         Prosedur hukum nasional mengenai pernyataan negara tentang keadaan darurat harus ditetapkan sebelum keadaan darurat.
·         Negara pihak yang mengurangi kewajibannya berdasarkan Kovenan harus segera memberitahukan negara-negara pihak yang lain, melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tentang ketentuan yang dikurangi dan alasan-alasannya.
·         Pemberitahuan tersebut harus berisi informasi cukup yang mengijinkan negara-negara pihak untuk menggunakan hak mereka dan memenuhi kewajiban mereka berdasarkan Kovenan. Secara khusus, pemberitahuan ini harus memuat:
o  ketentuan-ketentuan Kovenan yang telah dikurangi;
o  salinan pernyataan darurat, bersama-sama dengan ketentuan konstitusional, undang-undang, atau keputusan yang mengatur keadaan darurat, untuk membantu negara-negara pihak menghargai cakupan pengurangan tersebut;
o  tanggal efektif pemberlakuan keadaan darurat dan jangka waktu keadaan darurat yang dinyatakan;
o  penjelasan tentang alasan yang digunakan keputusan pemerintah, untuk tindakan pengurangan hak, termasuk gambaran singkat tentang keadaan faktual yang mengarah pada pernyataan keadaan darurat; dan
o  gambaran singkat tentang efek yang diantisipasi dari langkah-langkah pengurangan hak-hak yang diakui oleh Kovenan, termasuk salinan keputusan yang mengurangi hak-hak ini diterbitkan sebelum pemberitahuan.
·      Negara pihak mungkin akan meminta informasi penting yang memungkinkan mereka dapat menjalankan peran mereka berdasarkan Kovenan yang diberikan melalui perantaraan Sekretaris Jenderal.
·      Pihak negara yang gagal membuat suatu pemberitahuan segera tentang tindakan pengurangan hak telah melanggar kewajibannya kepada pihak negara-negara pihak yang lain dan dapat dicabut pertahanan lain yang tersedia untuk itu di dalam prosedur berdasarkan Kovenan.
·      Negara pihak yang memanfaatkan hak pengurangan berdasarkan Pasal 4 wajib menghentikan tindakan pengurangan itu dalam waktu singkat, sesuatu yang dibutuhkan untuk mengakhiri darurat publik yang mengancam kehidupan bangsa.
·      Negara pihak wajib, pada tanggal berakhirnya tindakan pengurangan tersebut, menginformasikan negara pihak lain, melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, fakta tentang penghentian ini.
·      Ketika penghentian tindakan pengurangan hak berdasarkan Pasal 4, semua hak dan kebebasan yang dilindungi oleh Kovenan harus dipulihkan secara penuh. Sebuah tinjauan atas akibat lanjutan dari tindakan pengurangan hak harus dilakukan sesegera mungkin. Langkah-langkah harus diambil untuk memperbaiki ketidakadilan dan untuk memberikan kompensasi kepada mereka yang menderita ketidakadilan selama atau sebagai akibat dari tindakan pengurangan hak itu.
                                    IV.          “Benar-benar diperlukan oleh situasi darurat”
·      Tingkat keparahan, rentang waktu, dan cakupan geografis dari setiap tindakan pengurangan hak harus benar-benar diperlukan untuk mengatasi ancaman kehidupan bangsa dan proporsional pada sifat dan tingkatannya.
·      Otoritas nasional yang kompeten berkewajiban untuk menilai secara individual perlunya setiap tindakan pengurangan yang diambil atau diusulkan untuk mengatasi bahaya tertentu yang ditimbulkan oleh situasi darurat.
·      Sebuah tindakan tidak benar-benar diperlukan oleh situasi darurat ketika langkah-langkah biasa yang diperbolehkan menurut ketentuan pembatasan spesifik yang diatur Kovenan dinilai cukup untuk mengatasi ancaman terhadap kehidupan bangsa.
·      Prinsip kebutuhan yang ketat harus diterapkan secara obyektif. Setiap tindakan harus diarahkan pada bahaya yang bersifat segera, aktual, jelas, sekarang, atau akan terjadi dan tidak dapat dikenakan hanya hanya karena sebuah kekhawatiran terhadap potensi bahaya.
·      Konstitusi nasional dan hukum yang mengatur keadaan darurat harus menyediakan tinjauan independen yang cepat dan dilakukan secara berkala oleh pengaturan tentang perlunya tindakan pengurangan hak.
·      Pemulihan efektif harus tersedia bagi orang-orang yang mengklaim bahwa langkah-langkah pengurangan HAM yang mempengaruhi mereka dianggap tidak benar-benar diperlukan dalam situasi darurat.
·      Dalam menentukan apakah langkah-langkah pengurangan HAM sangat diperlukan oleh situasi darurat, penilaian otoritas nasional tidak dapat diterima secara meyakinkan.
                                     V.            Non-Derogable Rights (Hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun)
Tak boleh satu negara pihak pun, bahkan ketika darurat yang mengancam kehidupan bangsa, mengurangi jaminan Kovenan atas hak untuk hidup; bebas dari penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan, dan dari eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan; bebas dari perbudakan atau kerja paksa; hak untuk tidak dipenjara karena hutang kontrak; hak untuk tidak dihukum atau dijatuhi hukuman yang lebih berat berdasarkan undang-undang pidana yang berlaku surut; hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak-hak ini tidak dikurangi dalam kondisi apapun bahkan untuk tujuan melindungi kehidupan bangsa.
Negara-negara pihak Kovenan ini, sebagai bagian dari kewajiban mereka untuk menjamin penikmatan hak-hak untuk semua orang dalam yurisdiksi mereka (Pasal 2 [1]) dan untuk mengambil langkah-langkah yang mengamankan pemulihan efektif atas pelanggaran (Pasal 2 [3]), harus mengambil tindakan pencegahan khusus ketika darurat publik untuk memastikan bahwa, baik kelompok resmi ataupun semiresmi, tidak terlibat dalam praktek pembunuhan sewenang-wenang dan di luar hukum atau penghilangan paksa, bahwa orang-orang dalam tahanan dilindungi dari tindakan penyiksaan dan bentuk-bentuk hukuman dan kekejaman lain yang tidak manusiawi atau merendahkan, dan bahwa tidak ada orang yang dinyatakan bersalah atau dihukum berdasarkan hukum atau keputusan yang berlaku surut.
Pengadilan biasa harus mempertahankan yurisdiksi mereka, bahkan ketika darurat publik, untuk mengadili setiap keluhan tentang pelanggaran hak-hak nonderogable (hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun).
Beberapa prinsip umum mengenai pengantar dan penerapan darurat public dan akibat tindakan pengurangan hak. Pengurangan hak-hak yang diakui berdasarkan hukum internasional untuk menanggapi ancaman bagi kehidupan bangsa tidak diterapkan dalam kekosongan hukum. Hal ini disahkan oleh hukum dan karena itu tunduk pada beberapa prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum.
Suatu pernyataan darurat publik harus dilakukan dengan itikad baik berdasarkan penilaian obyektif atas situasi untuk menentukan sampai sejauh mana, jika ada, hal itu menimbulkan ancaman bagi kehidupan bangsa. Suatu pernyataan darurat publik, dan akibat pengurangan dari kewajiban Kovenan, yang tidak dibuat dengan itikad baik merupakan pelanggaran hukum internasional.
Ketentuan-ketentuan Kovenan yang memungkinkan pengurangan tertentu dalam keadaan darurat publik harus ditafsirkan secara terbatas. 64. Dalam keadaan darurat publik, supremasi hukum masih berlaku. Pengurangan adalah suatu hak istimewa yang resmi dan terbatas untuk menanggapi ancaman bagi kehidupan bangsa. Negara yang melakukan pengurangan HAM harus menjustifikasi tindakan pengurangan itu berdasarkan hukum.
Kovenan membawahi semua prosedur untuk tujuan dasar HAM. Pasal 5 (1) Kovenan menempatkan batasan tertentu bagi tindakan yang diambil berdasarkan Kovenan:
Tidak satupun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak pada suatu negara, kelompok atau perorangan untuk melakukan kegiatan yang ditujukan untuk menghancurkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk membatasinya lebih daripada yang telah ditetapkan dalam Kovenan ini.
Pasal 29 (2) DUHAM menetapkan tujuan akhir dari hukum:
Dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi persyaratan-persyaratan moral, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum dalam masyarakat demokratis.
Ketentuan-ketentuan ini berlaku dengan kekuatan penuh untuk klaim bahwa suatu situasi merupakan sebuah ancaman bagi kehidupan bangsa dan, karenanya, memungkinkan pihak berwenang untuk melakukan pengurangan.
Suatu pernyataan terpercaya tentang darurat publik mengijinkan pengurangan dari kewajiban khusus yang ditentukan dalam Kovenan, tetapi hal itu tidak memberi kewenangan bagi negara untuk lari dari dari kewajibankewajiban internasional. Pasal 4 (1) dan 5 (2) secara tegas melarang pengurangan-pengurangan yang tidak konsisten dengan kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional. Dalam hal ini, catatan khusus dari kewajiban internasional yang berlaku dalam keadaan darurat public berdasarkan Konvensi Jenewa dan Konvensi ILO harus diperhatikan. Berdasarkan Protokol tambahan 1.977, hak-hak berikut dengan penghormatan atas penuntutan pidana harus dihormati dalam setiap keadaan oleh negara pihak pada Protokol:
o  kewajiban untuk memberikan pemberitahuan perubahan tanpa penundaan dan untuk memberikan hak-hak dan sarana pertahanan yang diperlukan;
o  keyakinan hanya atas dasar tanggung jawab pidana individual;
o  hak untuk tidak dihukum, atau mendapat hukuman lebih berat, berdasarkan undang-undang pidana yang berlaku surut;
o   praduga tak bersalah;
o  persidangan di hadapan terdakwa;
o  tidak ada kewajiban pada terdakwa untuk bersaksi melawan dirinya sendiri atau untuk mengaku bersalah;
o  kewajiban untuk memberi nasihat kepada terpidana di pengadilan dan pemulihan lainnya.
Tak ada negara, termasuk bagi negara yang bukan negara pihak pada Kovenan, dapat menangguhkan atau melanggar, bahkan ketika darurat publik:
o  hak untuk hidup;
o  bebas dari penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan dan dari eksperimen medis atau ilmiah;
o  hak untuk bebas dari perbudakan atau kerja paksa; dan,
o  hak untuk tidak menjadi sasaran hukuman pidana yang bersifat retroaktif sebagaimana diatur dalam Kovenan. Hukum kebiasaan internasional melarang dalam segala situasi pengingkaran hak-hak mendasar tersebut.
Meskipun perlindungan terhadap penangkapan dan penahanan sewenangwenang (Pasal 9) dan hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka dalam penentuan tuntutan pidana (Pasal 14) dapat dikenakan pembatasan yang sah jika benar-benar diperlukan oleh keadaan darurat, pengingkaran hak-hak tertentu yang mendasar untuk martabat manusia tidak pernah dapat dinilai sebagai alasan benar-benar diperlukan dalam setiap kondisi darurat yang dikonsepsikan. Menghormati hak-hak dasar ini sangat penting untuk memastikan penikmatan hak-hak non-derogable dan untuk memberikan pemulihan efektif atas pelanggaran mereka. Secara khusus:
a.    semua penangkapan dan penahanan dan tempat penahanan harus dicatat, jika mungkin terpusat, dan tersedia untuk publik tanpa penundaan;
b.    tidak ada orang yang harus ditahan untuk waktu yang tidak terbatas, apakah ditahan menunggu penyelidikan yudisial atau pengadilan atau ditahan tanpa tuntutan;
c.    tidak ada orang yang harus diisolasi tanpa komunikasi dengan keluarga, teman, atau pengacaranya selama lebih dari beberapa hari, misalnya tiga sampai tujuh hari;
d.   ketika seseorang ditahan tanpa dakwaan, kebutuhan untuk meneruskan penahanan harus dipertimbangkan secara berkala oleh sebuah peninjauan pengadilan yang independen;
e.    setiap orang yang dituntut karena suatu kejahatan berhak atas peradilan yang adil oleh pengadilan yang kompeten, independen dan tidak memihak, yang ditetapkan oleh hukum;
f.     warga sipil secara normal harus diadili oleh pengadilan biasa; di mana ditemukan alasan keperluan mendesak untuk menyelenggarakan pengadilan militer atau pengadilan khusus untuk mengadili warga sipil, kompetensi, independensi dan imparsialitas mereka harus dipastikan dan kebutuhan untuk mereka peninjauan secara berkala oleh otoritas yang kompeten;
g.    setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak atas praduga tak bersalah dan setidaknya hak-hak berikut untuk memastikan pengadilan yang adil:
ü Hak untuk diberitahu tentang tuduhan secara segera, rinci, dan dalam bahasa yang dia mengerti;
ü Hak untuk memiliki waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan, termasuk hak untuk berkomunikasi secara rahasia dengan pengacaranya;
ü Hak untuk didampingi pengacara pilihannya, dengan bantuan hukum gratis jika ia tidak dapat membayar untuk itu;
ü Hak untuk hadir di persidangan;
ü Hak untuk tidak dipaksa untuk bersaksi melawan dirinya sendiri atau untuk membuat pengakuan;
ü Hak untuk mendapatkan kehadiran dan pemeriksaan saksi yang meringankan;
ü Hak untuk diadili di area publik yang aman dimana pengadilan dinyatakan dalam situasi pengamanan yang memadai untuk mencegah penyalahgunaan;
ü Hak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi;
h.    sebuah catatan yang memadai tentang proses harus dijaga dalam semua kasus; dan
i.      tidak ada orang yang diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana dimana ia telah dihukum atau dibebaskan.
 VI.            Kesimpulan
Bahwa berdasarkan dasar-dasar hukum dan teori-teori hukum di atas, dapat disimpulkan dalam hal penerbitan Perppu nomor 2 tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan yang dilakukan oleh presiden Joko Widodo. Dapat disimpulkan Menjadi beberapa point sebagai berikut :
1.      Perppu nomor 2 tahun 2017 tentang keorganisasian masyarakat, menadi sebuah dasar hukum sementara yang berlaku di Indonesia pada saat ini. Hingga mendapatkan sebuah persetujuan atau penolakan dari DPR selaku sebuah lembaga lesgislatif di Indonesia.
2.      Perppu menjadi sebuah hak progratif presiden, yang di landasakan oleh sebuah keadaan yang memaksa. Yang tentunya seharusnya dapat dikeluarkan tidak berdasarkan sebuah pandangan yang subyektif.
3.      Presiden selaku pemimpin Negara harus dapat menjelaskan semua pertimbangan yang dimiliki untuk menerbitkan sebuah perppu.
4.      Dalam pengurangan hak yang dilakukan oleh Negara, dari segi hukum internasional yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Tidak boleh dilakukan dengan suatu landasan subyektifitas
5.      Dalam hal hak asasi manusia, Negara tidak boleh untuk mengurangi bahkan menghapuskan hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak-hak ini tidak dikurangi dalam kondisi apapun bahkan untuk tujuan melindungi kehidupan bangsa.
6.      Dari segi keadaan berbahaya, memaksa, darurat, dll. Hukum internasional mengatur dan melihat sebuah keadan akan berakhirnya sebuah keadaan tersebut. Sehingga harus jelas patokan berakhirnya sebuah keadaan yang dimaksud diatas. Sehingga dapat diterimanya pembatasan-pembatasan hak yang dimiliki oleh warga Negara.
7.      Perppu nomor 2 tahun 2017 kami nilai akan menyebabkan sebuah keadaan munculnya sebuah penilaian yang subyektif, dari kementrian hukum dan ham selaku pihak yang menerbitka dan mencopot status sebuah keorganisasian masyarakat.











[1]  Asas Centrarius actus adalah ketika suatu badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya juga (otomatis), badan/pejabat tata usaha yang bersangkutan yang berwenang membatalkannya. 

Comments

Popular Posts

Toko Buku Online Belbuk.com Toko Buku Online Belbuk.com