analisis peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) nomor 2 tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan
Analisis
mengenai PERPPU nomor 2 tahun 2017
Mengenai
organisasi kemasyarakatan
I.
Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu Negara hukum di
dunia. sehingga dalam pelaksanaan pemerintahannya, haruslah berlandaskan kepada
adanya sebuah aturan hukum.
Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang tatacara
pembentukan perundang-undangan, menjadi sebuah dasar pembentukan sebuah produk
hukum di Indonesia. Yang dimana produk-produk hukum tersebut menjadi sebuah
aturan dasar, atau rel untuk berjalannya sebuah pemerintahan di Negara ini.
Berdasarkan pasal 2 undang-undang nomor 12 tahun
2011 menyebutkan “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.”
Sehingga semua peraturan di bawahnya, dianggap memiliki atau sudah menjadi
sebuah interprestasi akan sebuah nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila
itu sendiri.
Di dalam pasal 7 undang-undang nomor 12 tahun 2011,
menyebutkan pula tentang hirarki perundang-undangan yang terdapat di Indonesia.
Adapun yang menjadi sebuah hirarki yang dimaksud di dalam pasal tersebut,
adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan
Pemerintah;
e. Peraturan
Presiden;
f. Peraturan
Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Belakangan ini, menjadi sebuah pembahasan menarik
mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 tahun
2017 tentang Organisasi kemasyarakatan. Yang dimana perppu ini lahir, sebagai mana
yang tercantum dalam pertimbangan pembentukan perppu ini adalah sebagai berikut
:
a.
Bahwa
negara berkewajiban melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b.
Bahwa
PELANGGARAN TERHADAP ASAS DAN TUJUAN
ORGANISASI KEMASYARAKATAN YANG DIDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 merupakan perbuatan yang sangat
tercela dalam pandangan moralitas bangsa Indonesia terlepas dari latar belakang
etnis, agama, dan kebangsaan pelakunya;
c.
Bahwa
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2OL3
TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN MENDESAK UNTUK SEGERA DILAKUKAN PERUBAHAN
KARENA BELUM MENGATUR SECARA KOMPREHENSIF MENGENAI KEORMASAN YANG BERTENTANGAN
DENGAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
sehingga terjadi KEKOSONGAN HUKUM DALAM
HAL PENERAPAN SANKSI YANG EFEKTIF;
d.
Bahwa
TERDAPAT ORGANISASI KEMASYARAKATAN
TERTENTU YANG DALAM KEGIATANNYA TIDAK SEJALAN DENGAN ASAS ORGANISASI KEMASYARAKATAN
SESUAI DENGAN ANGGARAN DASAR ORGANISASI KEMASYARAKATAN YANG TELAH TERDAFTAR DAN
TELAH DISAHKAN PEMERINTAH, dan BAHKAN
SECARA FAKTUAL TERBUKTI ADA ASAS ORGANISASI KEMASYARAKATAN DAN KEGIATANNYA YANG
BERTENTANGAN DENGAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945;
e.
Bahwa
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan belum
menganut asas cantrarius actus[1]
sehingga tidak efektif untuk menerapkan sanksi terhadap organisasi
kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau
paham yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Sehingga dalam hal ini, perlu sebuah kajian mengenai
mekanisme penerbitan perppu, perppu dalam sebuah hirarki perundang-undangan,
perppu dalam menyikapi keorganisasian masyarakat dalam lingkup kewenangan
Negara dengan kebebasan berserikat warga Negara, perppu dalam penerapannya.
II.
Dasar hukum
Dalam melakukan
pembahasan ini, adapun aturan atau
undang-undang yang Digunakan Adalah Sebagai Berikut :
1. Undang
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
3. Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Keorganisasian Masyarakat;
4. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017;
5. Keputusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 138 / Puu-VII / 2009;
6. Peraturan
Presiden Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
7. UU
(Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya
8. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
9. Doktrin
atau Pendapat Para Ahli
III.
Kajian
Dalam hal melakukan kajian hukum, mengenai Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Keorganisasian
Masyarakat. Dapat dilakukan dengan sebagai berikut :
a. Pengujian
terhadap pembentukan
Berdasaran Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 pasal 22 ayat (1) yang berbunyi : “Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang.” Sehingga secara eksplesit menyebutkan bahwa sudah menjadi
sebuah kewenangan seorang presiden dalam membuat sebuah Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.
Yang dimana Peraturan pemerintah Pengganti
undang-undang tersebut, materi muatannya sama dengan materi muatan
Undang-Undang. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 12
tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Materi muatan yang
dimaksud dijelaskan dalam pasal 10 undang-undang nomor 12 tahun 2011, adalah
sebagi berikut :
(1) Pengaturan
lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
(2) Perintah
suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
(3) Pengesahan
perjanjian internasional tertentu;
(4) Tindak
lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
(5) Pemenuhan
kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Peraturan pemerintah Pengganti undang-undang ini,
hanya bersifat sementara. Sehingga perppu yang sudah di undangkan dan ditandatangani
oleh presiden, harus diajukan kepada DPR dalam bentuk Draft Rancangan tentang
penetapan perppu menjadi Undang-undang. Adapun draft Rancangan yang dimaksud,
mengenai mekanisme pembahasan hingga penetapan yang dilakukan oleh DPR.
Menggunakan sebuah mekanisme yang sama dengan perancangan hingga penetapan
sebuah undang-undang. Namun disini DPR hanya akan mengeluarkan sebuah keputusan
mengenai menolak atau tidaknya sebuah perppu yang diajukan.
Jika Perppu tersebut ditolak DPR, maka Perppu
tersebut tidak berlaku, dan Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Perpu
tersebut, yang dapat pula mengatur segala akibat dari penolakan tersebut.
Hal diatas sebagaimana yang tercantum dalan
Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 22 ayat (2), dan (3), yang berbunyi :
(2) Peraturan
pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan
yang berikut.
(3) Jika
tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
b.
Penolakan
Perpu Oleh DPR Dan Akibat Hukumnya
Peraturan
Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang merupakan salah satu sumber tertib
hukum di Indonesia. Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang
merupakan hak inisiatif dan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada
Presiden yang keberlakuannya mengikat layaknya Undang-Undang.
Pertimbangan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang adalah hal
ikhwal kegentingan yang memaksa, yang penilaiannya tergantung kepada
subyektifitas Presiden.
Terkait
hal ihwal kegentingan yang memaksa ini, belum ada kriteria dan standar yang
jelas untuk suatu hal dikatakan kegentingan yang memaksa dalam hal bernegara.
Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang dibenarkan oleh Undang-Undang,
maka dibutuhkan penilaian dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk menetapkan PERPU
menjadi Undang-Undang.
Adapun
penilaian dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Peraturan Pemerintah sebagai
Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah disetujui atau ditolak. Permasalahan
muncul ketika PERPU ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Bagaimana
akibat hukumnya atas penolakan PERPU oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden
harus mengajukan rancangan Undang-Undang pencabutan PERPU yang dapat mengatur
segala akibat dari penolakan tersebut.
Sedangkan
pengujian terhadap PERPU (Perpu) dalam konstitusi dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah jelas diatur
bahwa Dewan Perwakilan Rakyat melakukan penilaian atau melakukan pengujian
politik (political review) atas PERPU. Apabila disetujui menjadi Undang-Undang,
maka Undang-Undang tersebut baru dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi
c.
Hak Subyektif “Terbatas” yang
dimiliki oleh seorang Presiden
“Keberanian” Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpu tidak lepas
dari perdebatan tentang subyektifitas presiden dalam menafsirkan “hal
kegentingan memaksa” yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Penafsiran subyektif
Presiden dalam pasal 22 harus dibedakan dengan penafsiran obyektif yang diatur
dalam Pasal 12 UUD 1945. Dalam kondisi bahaya atau tidak normal, UUD Negara RI
Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk melakukan tindakan
khusus.
Tindakan khusus yang diberikan oleh UUD 1945 diatur dalam Pasal 12
dan Pasal 22. Pasal 12 menyebutkan Presiden menyatakan keadaan bahaya.
Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. UUD
1945 dengan tergas mengamanatkan adanya undang-undang yang mengatur keadaan
bahaya yang saat ini diatur lebih lanjut dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959
tentang Keadaan Bahaya. Terhadap keadaan bahaya yang diatur dalam UU (Prp) No.
23 Tahun 1959 ini, Presiden hanya dapat menafsirkan secara obyektif. Dalam hukum
tata negara tidak tertulis tidak
tertulis dan dikenal dengan sebutan noodstaatsrecht.
Menurut Harun Al Rasyid (dalam Kleden & Waluyo, Ed., 1981: 76-77 dan 105), dalam noodstaatsrecht, undang-undang keadaan bahaya selalu ada, pelaksanaan berlakunya keadaan bahaya dituangkan dalam keputusan presiden. Noodstaatsrecht harus dibedakan dari staatsnoodrecht. Menurut doktrin staatnoodrecht, jika negara dalam keadaan darurat kepala negara boleh bertindak apapun bahkan melanggar undang-undang dasar sekalipun demi untuk menyelamatkan negara. Staatnoodrecht merupakan hak darurat negara, bukan hukum. Di Indonesia, Dekrit Presiden 5 Juli 1949 yang menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, menurut Prof. Wiryono didasarkan pada doktrin staatnoodrecht.
Menurut Harun Al Rasyid (dalam Kleden & Waluyo, Ed., 1981: 76-77 dan 105), dalam noodstaatsrecht, undang-undang keadaan bahaya selalu ada, pelaksanaan berlakunya keadaan bahaya dituangkan dalam keputusan presiden. Noodstaatsrecht harus dibedakan dari staatsnoodrecht. Menurut doktrin staatnoodrecht, jika negara dalam keadaan darurat kepala negara boleh bertindak apapun bahkan melanggar undang-undang dasar sekalipun demi untuk menyelamatkan negara. Staatnoodrecht merupakan hak darurat negara, bukan hukum. Di Indonesia, Dekrit Presiden 5 Juli 1949 yang menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, menurut Prof. Wiryono didasarkan pada doktrin staatnoodrecht.
Menurut Mahfud MD pembenaran dekrit tidak hanya didasarkan pada staatnoodrecht tetapi juga berdasarkan
pada prinsip salus populis supreme lex
(keselamatan rakyat adalah dasar hukum tertinggi).
Akan tetapi, menurut M. Hatta, Prawoto Mangkusasmito (dalam Mahfud
MD: 2001: 136) serta Yusril Ihza Mahendra (2001) yang menyetujui pendapat Prof.
Logeman, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum di bidang
ketatanegaraan.
Menelisik ke belakang, ketentuan Pasal 22 (dan Pasal 12) merupakan teks asli UUD 1945 yang tidak diamandemen. Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa, Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh sebuah lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat.
Indrianto Seno Adji (2002) mengatakan, dalam Hukum Tata Negara dikenal asas hukum darurat untuk kondisi darurat atau abnormale recht voor abnormale tijden. Asas ini kemudian menjadi hak prerogatif presiden seperti dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Menelisik ke belakang, ketentuan Pasal 22 (dan Pasal 12) merupakan teks asli UUD 1945 yang tidak diamandemen. Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa, Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh sebuah lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat.
Indrianto Seno Adji (2002) mengatakan, dalam Hukum Tata Negara dikenal asas hukum darurat untuk kondisi darurat atau abnormale recht voor abnormale tijden. Asas ini kemudian menjadi hak prerogatif presiden seperti dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Jimly Ashiddiqie (2006: 80-85), Perpu sebagai emergency
legislation yang didasarkan pada alasan innernootstand
(keadaan darurat yang bersifat internal) adalah dalam kegiatan seperti berikut:
(1)
mendesak dari segi substansi,
dan
(2)
situasi genting dinilai dari
segi waktunya.
Sementara itu, Bagir Manan dalam buku Teori dan Politik Konstitusi
(2004) mengatakan, “hal ihwal kegentingan yang memaksa" merupakan syarat
konstitutif yang menjadi dasar kewenangan presiden dalam menetapkan perppu.
Apabila tidak dapat menunjukkan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak
berwenang menetapkan perppu. Perppu yang ditetapkan tanpa adanya hal ihwal
kegentingan maka batal demi hukum (null
and void), karena melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa wewenang.
Hal ihwal kegentingan yang memaksa juga harus menunjukkan beberapa
syarat adanya krisis, yang menimbulkan bahaya atau hambatan secara nyata
terhadap kelancaran menjalankan fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, muatan
perppu hanya terbatas pada pelaksanaan dari fungsi pemerintahan (administratief rechtelijk).
Tentang muatan dan cakupan Perpu sendiri, Jimly Ashiddiqie membenarkan pendapat Bagir Manan, bahwa sifat inner notstand sebagai alasan pokok hanya dapat dijadikan alasan ditetapkannya Perpu sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan yang memerlukan dukungan payung hukum setingkat undang-undang.
Tentang muatan dan cakupan Perpu sendiri, Jimly Ashiddiqie membenarkan pendapat Bagir Manan, bahwa sifat inner notstand sebagai alasan pokok hanya dapat dijadikan alasan ditetapkannya Perpu sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan yang memerlukan dukungan payung hukum setingkat undang-undang.
Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, jelas bahwa Presiden
mempunyai keterbatasan dalam menggunakan hak subyektifnya dalam mengeluarkan
perpu. Presiden hanya bisa menggunakan haknya sepanjang berkaitan dengan
kepentingan internal pemerintahan. perlu ditegaskan bahwa ketentuan UUD 1945
tentang hak presiden menafsirankan keadaan darurat dan kegetingan memaksa bukan
merupakan hak tanpa batas. Hak mengeluarkan perpu (atau bahkan Dekrit) tanpa
batas malah akan menjadikan bangsa Indonesia ini sebagai bangsa yang berjalan
mundur.
Mahkamah Konstitusi berhak dan berwenang untuk melakukan pengujian Perpu terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kesimpulan tersebut dilatar belakangi oleh sudut perspektif dalam menginterprestasikan hukum secara subyektif. Sebagai negara hukum, sedianya tidak hanya bersandarkan pada konsep hukum tertulis sebagaimana diketahui Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji Perppud engan alasan tidak ditemukan pengaturan dalam UUD 1945, namun juga memperhatikan sumber hukum lainnya seperti asas-asas hukum, prinsip Hak Asasi Manusia dan kepentingan sebagian besar masyarakat. Dengan memperhatikan pluralisme sumber hukum tersebut, suatu produk konstitusi dapat senantiasa bertahan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Diperlukannya penguji untuk :
Mahkamah Konstitusi berhak dan berwenang untuk melakukan pengujian Perpu terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kesimpulan tersebut dilatar belakangi oleh sudut perspektif dalam menginterprestasikan hukum secara subyektif. Sebagai negara hukum, sedianya tidak hanya bersandarkan pada konsep hukum tertulis sebagaimana diketahui Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji Perppud engan alasan tidak ditemukan pengaturan dalam UUD 1945, namun juga memperhatikan sumber hukum lainnya seperti asas-asas hukum, prinsip Hak Asasi Manusia dan kepentingan sebagian besar masyarakat. Dengan memperhatikan pluralisme sumber hukum tersebut, suatu produk konstitusi dapat senantiasa bertahan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Diperlukannya penguji untuk :
·
Menghindari penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power);
·
Menghindari kekakuan hukum; dan
·
Menghindari kerugian yang dapat
berdampak luas pada masyarakat
d.
Asas Centrarius actus menjadi salah satu
alasan penerbitan Perppu nomor 2 tahun 2017.
Asas Centarius Actus
merupakan suatu asas yang digunakan dalam sebuah system hukum administrasi
Negara. Dimana asas tersebut memiliki pengertian sebagai berikut : “ketika
suatu badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan keputusan tata usaha
negara dengan sendirinya juga (otomatis), badan/pejabat tata usaha yang
bersangkutan yang berwenang membatalkannya.”
Hal
tersebut menjadi sesuatu yang menarik, mengingat berdasarkan undang-undang yang
terdahulu (Undang-Undang nomor 17 tahun 2013) terdapat sebuah skema kewenangan
dari pemerintah daerah, pengadilan dan mahkamah agung (Yudikatif) dalam
menentukan pelanggaran yang terjadi oleh organisasi kemasyarakatan. Namun
karena alasan tersebut, malah menghilangkan kewenangan yang dimiliki oleh kedua
lembaga dan atau tingkatan pemerintahan tersebut.
Selain
itu, dalam upaya pembubaran yang akan dilakukan pasca penerapan perppu ini,
adalah tidak adanya sebuah upaya persuasif dari pemerintah dalam menertibkan
organisasi-organisasi masyarakat yang dianggap melanggar.
Alasan
penerapan dan Kekosongan hukum dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2013, dengan
menerbitkan Perppu nomor 2 tahun 2017 malah menghadirkan ketakutan dalam kebebasan
berekspresi dan beragama untuk melakukan kegiatan berserikat dan berorganisasi
di masyarakat
e. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 2 tahun 2017 dari pandangan hak asasi
manusia mengenai kebebasan berekspresi dan beragama, serta kebebasan
berserikat.
Dari
pembahasan di atas, dapat di pahami bahwa PERPPU bukanlah suatu undang-undang.
Mengingat masih perlunya sebuah proses pengakuan dari legislatif, namun
mengenai kedudukannya perppu memiliki kedudukan yang sama dengan undang-undang.
Sehingga dalam hal pembatasan Hak Asasi Manusia yang dimaksud oleh Perppu ini,
menjadi sesuatu hal yang tidak tepat.
Berikut
ini adalah cakupan pengurangan hak asasi manusia berdasarkan prinsip siracusa yang
dapat di gunakan dalam pembahasan perppu ini:
I. Prinsip
Penafsiran Umum yang berhubungan dengan justifikasi pembatasan
a. Tidak
ada pembatasan atau alasan yang diijinkan untuk menerapkan pembatasan untuk
hak-hak yang dijamin oleh Kovenan, selain yang tercantum dalam ketentuan
Kovenan itu sendiri.
b. Cakupan
pembatasan yang merujuk pada Kovenan tidak dapat ditafsirkan hingga
membahayakan esensi hak itu sendiri.
c. Semua
ketentuan pembatasan hak harus ditafsirkan secara ketat dan mendukung hak-hak
tersebut.
d. Semua
pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak tertentu yang
terkait.
e. Semua
pembatasan di dalam suatu hak yang diakui oleh Kovenan harus disediakan oleh hukum
dan cocok dengan maksud dan tujuan Kovenan.
f. Tidak
ada pembatasan (merujuk pada Kovenan) yang diterapkan untuk tujuan apapun
selain tujuan yang telah ditetapkan.
g. Tidak ada pembatasan
yang diterapkan secara sewenang-wenang.
h.
Setiap
pembatasan yang dikenakan harus diarahkan pada kemungkinan tantangan untuk dan
pemulihan terhadap penerapan pembatasan yang buruk (abusive)
i. Tiada
ada pembatasan (pada suatu hak yang diakui oleh Kovenan) yang mendiskriminasi
dan bertentangan dengan Pasal 2, paragraf 1.
j. Setiap
kali pembatasan di dalam Kovenan mensyaratkan istilah “diperlukan” (necessary),
maka ketentuan ini mengimplikasikan bahwa pembatasan:
a) didasarkan
pada salah satu alasan yang membenarkan pembatasan yang diakui oleh pasal
relevan dari Kovenan;
b) merespon
tekanan publik atau kebutuhan social
c) mencapai
tujuan yang sah, dan
d) sebanding
dengan tujuan itu.
Setiap penilaian
mengenai perlunya pembatasan harus dilakukan pada pertimbangan objektif.
·
Dalam menerapkan
pembatasan, suatu negara seharusnya tidak lagi menggunakan upaya pembatasan
lebih dari pembatasan yang ditetapkan untuk pencapaian tujuan pembatasan.
·
Beban justifikasi
pembatasan terhadap hak yang dijamin di dalam Kovenan bertumpu pada negara.
·
Persyaratan yang
dinyatakan di dalam Pasal 12 Kovenan, bahwa setiap pembatasan konsisten dengan
hak-hak lain yang diakui dalam Kovenan, tersirat dalam pembatasan hak-hak lain
yang diakui dalam Kovenan.
·
Ketentuan pembatasan
Kovenan tidak boleh ditafsirkan untuk membatasi pelaksanaan HAM yang dilindungi
lebih daripada kewajiban internasional lainnya yang mengikat negara.
II.
Prinsip-prinsip
Penafsiran yang Berhubungan dengan Ketentuan Pembatasan Khusus
a. “ditetapkan
oleh hukum”
·
Tidak ada pembatasan
dalam pelaksanaan HAM yang harus dilakukan kecuali disediakan oleh hukum
nasional yang berlaku umum, yang konsisten dengan Kovenan, dan berlaku pada
saat pembatasan diterapkan.
·
Hukum yang membatasi
pelaksanaan HAM tidak boleh berlaku secara sewenang-wenang atau tidak
beralasan.
·
Aturan hukum yang
membatasi pelaksanaan HAM harus jelas dan dapat diakses oleh setiap orang.
·
Perlindungan memadai
dan pemulihan efektif atas pemaksaan yang illegal atau kasar (abusive) atau
penerapan pembatasan HAM harus disediakan oleh hukum.
b. “dalam
masyarakat demokratis”
·
Ungkapan “dalam
masyarakat demokratis” harus ditafsirkan bahwa penerapan pembatasan lebih
lanjut pada ketentuan pembatasan itu telah memenuhi syarat.
·
Beban terletak pada
negara yang menerapkan pembatasan, sehingga memenuhi syarat untuk menggambarkan
bahwa pembatasan tidak merusak bekerjanya demokrasi dalam masyarakat.
·
Meskipun tidak ada
model tunggal mengenai masyarakat demokratis, suatu masyarakat yang mengakui
dan menghormati HAM yang diatur dalam Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM
(DUHAM) boleh digambarkan sebagai definisi tentang masyarakat demokratis.
c. “Ketertiban
Umum”
·
Ungkapan “ketertiban
umum” yang digunakan dalam Kovenan dapat didefinisikan sebagai sejumlah aturan
yang menjamin bekerjanya masyarakat atau seperangkat prinsip-prinsip dasar
dimana masyarakat dibangun. Menghormati HAM adalah bagian dari ketertiban umum.
·
Ketertiban umum harus
ditafsirkan dalam konteks tujuan hak-hak tertentu yang dibatasi dalam bidang
ini.
·
Alat-alat
atau agen-agen negara yang bertanggung jawab atas pemeliharaan ketertiban umum
harus menjadi pihak yang dikontrol dalam penggunaan kekuasaan mereka, melalui
parlemen, pengadilan, atau badan-badan independen lain yang kompeten.
d. “Keamanan
Nasional”
·
Keamanan nasional dapat
dijadikan justifikasi untuk membenarkan tindakan yang membatasi hak-hak
tertentu hanya jika digunakan untuk melindungi keberadaan bangsa atau
integritas teritorialnya atau kemerdekaan politik terhadap kekerasan atau
ancaman kekerasan.
·
Keamanan nasional tidak
dapat dijadikan sebagai alasan pembatasan hanya untuk mencegah ancaman lokal
atau ancaman hukum dan ketertiban yang relatif terisolasi.
·
Keamanan nasional tidak
dapat digunakan sebagai alasan untuk memaksakan pembatasan yang samar atau
sewenang-wenang dan hanya dapat digunakan jika ada perlindungan memadai dan
pemulihan efektif terhadap penyelewengan.
·
Pelanggaran HAM
sistematis melemahkan keamanan nasional dan dapat membahayakan perdamaian dan
keamanan internasional. Suatu Negara yang bertanggung jawab atas pelanggaran
semacam itu tidak boleh menjadikan keamanan nasional sebagai pembenar atas
tindakan yang bertujuan untuk menekan oposisi atau melakukan praktek-praktek
represif terhadap penduduknya.
e. “Keselamatan
publik”
·
Keselamatan publik
adalah perlindungan terhadap bahaya yang mengancam keselamatan orang, hidup
atau integritas fisik, atau kerusakan serius atas harta benda mereka.
·
Kebutuhan untuk
melindungi keselamatan publik dapat menjustifikasi pembatasan yang ditetapkan
oleh hukum. Ketentuan ini tidak dapat digunakan untuk memaksakan pembatasan
yang samar atau sewenangwenang dan hanya dapat digunakan ketika ada
perlindungan memadai dan pemulihan efektif terhadap penyelewengan.
III.
PENGURANGAN DALAM
DARURAT PUBLIK
a. “Darurat
Publik yang Mengancam Kehidupan Bangsa”
·
Negara pihak dapat
mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajibannya berdasarkan Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik sesuai Pasal 4 (selanjutnya disebut
“langkah-langkah pengurangan”) hanya bila menghadapi situasi bahaya yang luar biasa dan aktual atau bahaya yang bersifat
segera yang mengancam kehidupan bangsa. Suatu
ancaman bagi kehidupan bangsa adalah salah satu yang:
o mempengaruhi
seluruh penduduk dan, baik seluruh atau sebagian, wilayah negara, dan;
o mengancam
integritas fisik penduduk, kemerdekaan politik atau keutuhan wilayah negara
atau keberadaan atau fungsi dasar dari lembaga yang sangat diperlukan untuk
menjamin HAM yang diakui dalam Kovenan.
·
Konflik internal dan
kerusuhan yang bukan merupakan ancaman besar dan bersifat segera bagi kehidupan
bangsa tidak dapat membenarkan pengurangan hak berdasarkan Pasal 4.
·
Kesulitan ekonomi saja
tidak dapat membenarkan tindakan pengurangan hak.
b.
Pernyataan,
Pemberitahuan, dan Penghentian Darurat Publik
·
Negara
pihak yang mengurangi kewajibannya berdasarkan Kovenan harus membuat pernyataan
resmi tentang keberadaan darurat publik yang mengancam kehidupan bangsa.
·
Prosedur
hukum nasional mengenai pernyataan negara tentang keadaan darurat harus
ditetapkan sebelum keadaan darurat.
·
Negara
pihak yang mengurangi kewajibannya berdasarkan Kovenan harus segera
memberitahukan negara-negara pihak yang lain, melalui perantaraan Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tentang ketentuan yang dikurangi dan
alasan-alasannya.
·
Pemberitahuan tersebut
harus berisi informasi cukup yang mengijinkan negara-negara pihak untuk
menggunakan hak mereka dan memenuhi kewajiban mereka berdasarkan Kovenan.
Secara khusus, pemberitahuan ini harus memuat:
o ketentuan-ketentuan
Kovenan yang telah dikurangi;
o salinan
pernyataan darurat, bersama-sama dengan ketentuan konstitusional,
undang-undang, atau keputusan yang mengatur keadaan darurat, untuk membantu
negara-negara pihak menghargai cakupan pengurangan tersebut;
o tanggal
efektif pemberlakuan keadaan darurat dan jangka waktu keadaan darurat yang
dinyatakan;
o penjelasan
tentang alasan yang digunakan keputusan pemerintah, untuk tindakan pengurangan
hak, termasuk gambaran singkat tentang keadaan faktual yang mengarah pada
pernyataan keadaan darurat; dan
o gambaran
singkat tentang efek yang diantisipasi dari langkah-langkah pengurangan hak-hak
yang diakui oleh Kovenan, termasuk salinan keputusan yang mengurangi hak-hak
ini diterbitkan sebelum pemberitahuan.
·
Negara pihak mungkin
akan meminta informasi penting yang memungkinkan mereka dapat menjalankan peran
mereka berdasarkan Kovenan yang diberikan melalui perantaraan Sekretaris
Jenderal.
·
Pihak negara yang gagal
membuat suatu pemberitahuan segera tentang tindakan pengurangan hak telah
melanggar kewajibannya kepada pihak negara-negara pihak yang lain dan dapat
dicabut pertahanan lain yang tersedia untuk itu di dalam prosedur berdasarkan
Kovenan.
·
Negara pihak yang
memanfaatkan hak pengurangan berdasarkan Pasal 4 wajib menghentikan tindakan
pengurangan itu dalam waktu singkat, sesuatu yang dibutuhkan untuk mengakhiri
darurat publik yang mengancam kehidupan bangsa.
·
Negara pihak wajib,
pada tanggal berakhirnya tindakan pengurangan tersebut, menginformasikan negara
pihak lain, melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa,
fakta tentang penghentian ini.
·
Ketika penghentian
tindakan pengurangan hak berdasarkan Pasal 4, semua hak dan kebebasan yang
dilindungi oleh Kovenan harus dipulihkan secara penuh. Sebuah tinjauan atas
akibat lanjutan dari tindakan pengurangan hak harus dilakukan sesegera mungkin.
Langkah-langkah harus diambil untuk memperbaiki ketidakadilan dan untuk
memberikan kompensasi kepada mereka yang menderita ketidakadilan selama atau
sebagai akibat dari tindakan pengurangan hak itu.
IV.
“Benar-benar diperlukan
oleh situasi darurat”
·
Tingkat keparahan,
rentang waktu, dan cakupan geografis dari setiap tindakan pengurangan hak harus
benar-benar diperlukan untuk mengatasi ancaman kehidupan bangsa dan
proporsional pada sifat dan tingkatannya.
·
Otoritas nasional yang
kompeten berkewajiban untuk menilai secara individual perlunya setiap tindakan
pengurangan yang diambil atau diusulkan untuk mengatasi bahaya tertentu yang
ditimbulkan oleh situasi darurat.
·
Sebuah tindakan tidak
benar-benar diperlukan oleh situasi darurat ketika langkah-langkah biasa yang
diperbolehkan menurut ketentuan pembatasan spesifik yang diatur Kovenan dinilai
cukup untuk mengatasi ancaman terhadap kehidupan bangsa.
·
Prinsip kebutuhan yang
ketat harus diterapkan secara obyektif. Setiap tindakan harus diarahkan pada
bahaya yang bersifat segera, aktual, jelas, sekarang, atau akan terjadi dan
tidak dapat dikenakan hanya hanya karena sebuah kekhawatiran terhadap potensi
bahaya.
·
Konstitusi nasional dan
hukum yang mengatur keadaan darurat harus menyediakan tinjauan independen yang
cepat dan dilakukan secara berkala oleh pengaturan tentang perlunya tindakan
pengurangan hak.
·
Pemulihan efektif harus
tersedia bagi orang-orang yang mengklaim bahwa langkah-langkah pengurangan HAM
yang mempengaruhi mereka dianggap tidak benar-benar diperlukan dalam situasi
darurat.
·
Dalam menentukan apakah
langkah-langkah pengurangan HAM sangat diperlukan oleh situasi darurat,
penilaian otoritas nasional tidak dapat diterima secara meyakinkan.
V.
Non-Derogable Rights
(Hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun)
Tak boleh satu negara pihak pun, bahkan ketika
darurat yang mengancam kehidupan bangsa, mengurangi jaminan Kovenan atas hak
untuk hidup; bebas dari penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan, dan dari eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan; bebas
dari perbudakan atau kerja paksa; hak untuk tidak dipenjara karena hutang kontrak;
hak untuk tidak dihukum atau dijatuhi hukuman yang lebih berat berdasarkan
undang-undang pidana yang berlaku surut; hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum; dan kebebasan berpikir,
berkeyakinan, dan beragama. Hak-hak ini tidak dikurangi dalam kondisi apapun
bahkan untuk tujuan melindungi kehidupan bangsa.
Negara-negara pihak Kovenan ini, sebagai bagian dari
kewajiban mereka untuk menjamin penikmatan hak-hak untuk semua orang dalam
yurisdiksi mereka (Pasal 2 [1]) dan untuk mengambil langkah-langkah yang mengamankan
pemulihan efektif atas pelanggaran (Pasal 2 [3]), harus mengambil tindakan
pencegahan khusus ketika darurat publik untuk memastikan bahwa, baik kelompok
resmi ataupun semiresmi, tidak terlibat dalam praktek pembunuhan
sewenang-wenang dan di luar hukum atau penghilangan paksa, bahwa orang-orang
dalam tahanan dilindungi dari tindakan penyiksaan dan bentuk-bentuk hukuman dan
kekejaman lain yang tidak manusiawi atau merendahkan, dan bahwa tidak ada orang
yang dinyatakan bersalah atau dihukum berdasarkan hukum atau keputusan yang berlaku
surut.
Pengadilan biasa harus mempertahankan yurisdiksi
mereka, bahkan ketika darurat publik, untuk mengadili setiap keluhan tentang
pelanggaran hak-hak nonderogable (hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun oleh siapapun).
Beberapa prinsip umum mengenai pengantar dan
penerapan darurat public dan akibat tindakan pengurangan hak. Pengurangan
hak-hak yang diakui berdasarkan hukum internasional untuk menanggapi ancaman
bagi kehidupan bangsa tidak diterapkan dalam kekosongan hukum. Hal ini disahkan
oleh hukum dan karena itu tunduk pada beberapa prinsip-prinsip hukum yang
berlaku umum.
Suatu pernyataan darurat publik harus dilakukan
dengan itikad baik berdasarkan penilaian obyektif atas situasi untuk menentukan
sampai sejauh mana, jika ada, hal itu menimbulkan ancaman bagi kehidupan
bangsa. Suatu pernyataan darurat publik, dan akibat pengurangan dari kewajiban
Kovenan, yang tidak dibuat dengan itikad baik merupakan pelanggaran hukum internasional.
Ketentuan-ketentuan Kovenan yang memungkinkan
pengurangan tertentu dalam keadaan darurat publik harus ditafsirkan secara
terbatas. 64. Dalam keadaan darurat publik, supremasi hukum masih berlaku. Pengurangan
adalah suatu hak istimewa yang resmi dan terbatas untuk menanggapi ancaman bagi
kehidupan bangsa. Negara yang melakukan pengurangan HAM harus menjustifikasi
tindakan pengurangan itu berdasarkan hukum.
Kovenan membawahi semua prosedur untuk tujuan dasar
HAM. Pasal 5 (1) Kovenan menempatkan batasan tertentu bagi tindakan yang
diambil berdasarkan Kovenan:
Tidak satupun dalam Kovenan ini yang dapat
ditafsirkan sebagai memberi hak pada suatu negara, kelompok atau perorangan
untuk melakukan kegiatan yang ditujukan untuk menghancurkan hak-hak dan
kebebasan-kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk membatasinya
lebih daripada yang telah ditetapkan dalam Kovenan ini.
Pasal 29 (2) DUHAM menetapkan tujuan akhir dari
hukum:
Dalam
pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada
batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum, semata-mata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi
persyaratan-persyaratan moral, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum dalam
masyarakat demokratis.
Ketentuan-ketentuan ini berlaku dengan kekuatan
penuh untuk klaim bahwa suatu situasi merupakan sebuah ancaman bagi kehidupan
bangsa dan, karenanya, memungkinkan pihak berwenang untuk melakukan pengurangan.
Suatu pernyataan terpercaya tentang darurat publik
mengijinkan pengurangan dari kewajiban khusus yang ditentukan dalam Kovenan,
tetapi hal itu tidak memberi kewenangan bagi negara untuk lari dari dari
kewajibankewajiban internasional. Pasal 4 (1) dan 5 (2) secara tegas melarang pengurangan-pengurangan
yang tidak konsisten dengan kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional.
Dalam hal ini, catatan khusus dari kewajiban internasional yang berlaku dalam
keadaan darurat public berdasarkan Konvensi Jenewa dan Konvensi ILO harus
diperhatikan. Berdasarkan Protokol tambahan 1.977, hak-hak berikut dengan penghormatan
atas penuntutan pidana harus dihormati dalam setiap keadaan oleh negara pihak
pada Protokol:
o kewajiban
untuk memberikan pemberitahuan perubahan tanpa penundaan dan untuk memberikan
hak-hak dan sarana pertahanan yang diperlukan;
o keyakinan
hanya atas dasar tanggung jawab pidana individual;
o hak
untuk tidak dihukum, atau mendapat hukuman lebih berat, berdasarkan
undang-undang pidana yang berlaku surut;
o praduga tak bersalah;
o persidangan
di hadapan terdakwa;
o tidak
ada kewajiban pada terdakwa untuk bersaksi melawan dirinya sendiri atau untuk
mengaku bersalah;
o kewajiban
untuk memberi nasihat kepada terpidana di pengadilan dan pemulihan lainnya.
Tak ada negara, termasuk bagi negara yang bukan
negara pihak pada Kovenan, dapat menangguhkan atau melanggar, bahkan ketika
darurat publik:
o hak
untuk hidup;
o bebas
dari penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan dan dari
eksperimen medis atau ilmiah;
o hak
untuk bebas dari perbudakan atau kerja paksa; dan,
o hak
untuk tidak menjadi sasaran hukuman pidana yang bersifat retroaktif sebagaimana
diatur dalam Kovenan. Hukum kebiasaan internasional melarang dalam segala
situasi pengingkaran hak-hak mendasar tersebut.
Meskipun perlindungan terhadap penangkapan dan
penahanan sewenangwenang (Pasal 9) dan hak atas pemeriksaan yang adil dan
terbuka dalam penentuan tuntutan pidana (Pasal 14) dapat dikenakan pembatasan
yang sah jika benar-benar diperlukan oleh keadaan darurat, pengingkaran hak-hak
tertentu yang mendasar untuk martabat manusia tidak pernah dapat dinilai sebagai
alasan benar-benar diperlukan dalam setiap kondisi darurat yang dikonsepsikan.
Menghormati hak-hak dasar ini sangat penting untuk memastikan penikmatan
hak-hak non-derogable dan untuk memberikan pemulihan efektif atas pelanggaran
mereka. Secara khusus:
a. semua
penangkapan dan penahanan dan tempat penahanan harus dicatat, jika mungkin
terpusat, dan tersedia untuk publik tanpa penundaan;
b. tidak
ada orang yang harus ditahan untuk waktu yang tidak terbatas, apakah ditahan
menunggu penyelidikan yudisial atau pengadilan atau ditahan tanpa tuntutan;
c. tidak
ada orang yang harus diisolasi tanpa komunikasi dengan keluarga, teman, atau
pengacaranya selama lebih dari beberapa hari, misalnya tiga sampai tujuh hari;
d. ketika
seseorang ditahan tanpa dakwaan, kebutuhan untuk meneruskan penahanan harus
dipertimbangkan secara berkala oleh sebuah peninjauan pengadilan yang
independen;
e. setiap
orang yang dituntut karena suatu kejahatan berhak atas peradilan yang adil oleh
pengadilan yang kompeten, independen dan tidak memihak, yang ditetapkan oleh
hukum;
f. warga
sipil secara normal harus diadili oleh pengadilan biasa; di mana ditemukan
alasan keperluan mendesak untuk menyelenggarakan pengadilan militer atau
pengadilan khusus untuk mengadili warga sipil, kompetensi, independensi dan
imparsialitas mereka harus dipastikan dan kebutuhan untuk mereka peninjauan
secara berkala oleh otoritas yang kompeten;
g. setiap
orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak atas praduga tak bersalah dan
setidaknya hak-hak berikut untuk memastikan pengadilan yang adil:
ü Hak
untuk diberitahu tentang tuduhan secara segera, rinci, dan dalam bahasa yang
dia mengerti;
ü Hak
untuk memiliki waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan,
termasuk hak untuk berkomunikasi secara rahasia dengan pengacaranya;
ü Hak
untuk didampingi pengacara pilihannya, dengan bantuan hukum gratis jika ia
tidak dapat membayar untuk itu;
ü Hak
untuk hadir di persidangan;
ü Hak
untuk tidak dipaksa untuk bersaksi melawan dirinya sendiri atau untuk membuat
pengakuan;
ü Hak
untuk mendapatkan kehadiran dan pemeriksaan saksi yang meringankan;
ü Hak
untuk diadili di area publik yang aman dimana pengadilan dinyatakan dalam
situasi pengamanan yang memadai untuk mencegah penyalahgunaan;
ü Hak
untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi;
h. sebuah
catatan yang memadai tentang proses harus dijaga dalam semua kasus; dan
i. tidak
ada orang yang diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana dimana ia telah
dihukum atau dibebaskan.
VI.
Kesimpulan
Bahwa berdasarkan dasar-dasar hukum dan teori-teori hukum di atas,
dapat disimpulkan dalam hal penerbitan Perppu nomor 2 tahun 2017 tentang
organisasi kemasyarakatan yang dilakukan oleh presiden Joko Widodo. Dapat
disimpulkan Menjadi beberapa point sebagai berikut :
1.
Perppu nomor 2 tahun 2017
tentang keorganisasian masyarakat, menadi sebuah dasar hukum sementara yang
berlaku di Indonesia pada saat ini. Hingga mendapatkan sebuah persetujuan atau
penolakan dari DPR selaku sebuah lembaga lesgislatif di Indonesia.
2.
Perppu menjadi sebuah hak
progratif presiden, yang di landasakan oleh sebuah keadaan yang memaksa. Yang
tentunya seharusnya dapat dikeluarkan tidak berdasarkan sebuah pandangan yang
subyektif.
3.
Presiden selaku pemimpin Negara
harus dapat menjelaskan semua pertimbangan yang dimiliki untuk menerbitkan
sebuah perppu.
4.
Dalam pengurangan hak yang
dilakukan oleh Negara, dari segi hukum internasional yang berhubungan dengan hak
asasi manusia. Tidak boleh dilakukan dengan suatu landasan subyektifitas
5.
Dalam hal hak asasi manusia,
Negara tidak boleh untuk mengurangi bahkan menghapuskan hak kebebasan berpikir,
berkeyakinan, dan beragama. Hak-hak ini tidak dikurangi dalam kondisi apapun
bahkan untuk tujuan melindungi kehidupan bangsa.
6.
Dari segi keadaan berbahaya,
memaksa, darurat, dll. Hukum internasional mengatur dan melihat sebuah keadan
akan berakhirnya sebuah keadaan tersebut. Sehingga harus jelas patokan
berakhirnya sebuah keadaan yang dimaksud diatas. Sehingga dapat diterimanya
pembatasan-pembatasan hak yang dimiliki oleh warga Negara.
7.
Perppu nomor 2 tahun 2017 kami
nilai akan menyebabkan sebuah keadaan munculnya sebuah penilaian yang
subyektif, dari kementrian hukum dan ham selaku pihak yang menerbitka dan
mencopot status sebuah keorganisasian masyarakat.
[1] Asas Centrarius
actus adalah ketika suatu badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan
keputusan tata usaha negara dengan sendirinya juga (otomatis), badan/pejabat
tata usaha yang bersangkutan yang berwenang membatalkannya.
Comments
Post a Comment