Toko Buku Online Belbuk.com Toko Buku Online Belbuk.com

Saudaraku, maafkan aku terlahir berbeda (lanjutan)

Cerita selanjutnya dari Saudaraku, maafkan aku terlahir berbeda.
***
Cecep suracep ketika dia sudah besar, harus beraktifitas dalam sebuah kegiatan sosial. Dimana dia memiliki sebuah cerita untuk kawan-kawan mengenai konflik-konflik masyarakat adat.
Berikut ceritanya yang berjudul

"Kaka, Masihkah bermimpi tentang Indonesia?"

Karena sebuah mimpi indah, kami harus menderita. Hanya harapan dan doa dari para leluhur, yang membuat kami tetap bertahan.

Dalam sebuah janji politik, dari seseorang yang akrab dipanggil koko dan ucup. Mereka ingin memimpin negara, dengan menawarkan sebuah perubahan. Dalam kondisi yang tertidur lelap, karena kelelahan yang sangat luar biasa. Kita dibawa dalam sebuah mimpi yang sangat indah. Mimpi tersebut, mereka namai “nawacita”. Didalam mimpi tersebut, kita disajikan sebuah pemandangan akan hadirnya negara untuk melindungi segenap bangsa, dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Terjadinya reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar.

Namun sebuah mimpi, hanyalah mimpi. Begitu pahit dan perih sebuah kenyataan. Entah kita tertipu, atau memang kita bodoh? Ataukah memang kaka koko dan kaka ucup. yang sedang tertidur lelap? Mungkin saja dalam mimpi mereka, kita sedang bergelimang harta. Atau dalam mimpi mereka, kita sedang tertawa senang dalam keamanan. Dan ataukah dalam mimpi indah mereka, kita sudah hidup tenang di atas tanah-tanah nenek moyang.

Kenyataan yang pahit ini, harus ditanggung oleh mereka. Karena sebuah kebenaran dan keberanian, rakyat tetap melawan.

Sebagaimana laporan akhir tahun 2016, yang dikeluarkan oleh Konsorsium pembaruan agraria (KPA). dimana KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 450 konflik agraria sepanjang tahun 2016, dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Dimana pada tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2015, KPA mencatat 252 konflik agraria, maka terdapat peningkatan signifikan di tahun 2016, peningkatan yang terjadi hampir dua kali lipat angkanya. Jika di rata-rata, maka setiap hari terjadi satu konflik agraria dan 7.756 hektar lahan terlibat dalam konflik.

Dari konflik agraria yang terjadi, perkebunan masih tetap menjadi sektor penyebab tertinggi konflik agraria dengan angka 163 konflik (36,22 %), disusul sektor properti dengan jumlah konflik 117 (26,00 %), lalu di sektor infrastruktur dengan jumlah konflik 100 (22,22 %). Kemudian, di sektor kehutanan sebanyak 25 konflik (5,56 %), sektor tambang 21 (4,67 %), sektor pesisir dan kelautan dengan 10 konflik (2,22 %), dan terakhir sektor migas dan pertanian yang sama-sama menyumbangkan sebanyak 7 konflik (1,56 %).

Dari luas wilayah konflik 1.265.027 hektar, perkebunan menempati urutan pertama dalam luasan wilayah, yakni 601.680 hektar. Disusul berturut-turut sektor kehutanan seluas 450.215 hektar, sektor properti seluas 104.379 hektar, sektor migas seluas 43.882 hektar, sektor infrastruktur seluas 35.824 hektar, sektor pertambangan 27.393 hektar, sektor pesisir 1.706 hektar, dan terakhir sektor pertanian dengan luasan 5 hektar. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terjadi peningkatan dua kali lipat luasan wilayah konflik di sektor perkebunan. Serta berdasarkan informasi yang di sajikan pula oleh kawan-kawan KPA dalam pelaporannya pada tahun 2016 pula menyebutkan menyebabka  sekitar 177 orang kriminalisasi, 13 orang meninggal, serta ada 66 orang yang menjadi korban penganiayaan

Kita hidup di atas tanah. Bukan hidup di atas air, apalagi di atas udara. Lalu pantaskah karena sebuah keserakahan, mereka menderita?

Walaupun informasi-informasi di atas, masih membicarakan wilayah dan kelompok korban konflik secara global. Serta tidak menyebutkan secara spesifik,  bahwa masyarakat adat yang menjadi korbannya.  Dalam konflik yang terjadi, antara pemerintah yang telah berselingkuh dengan para investor yang melawan rakyatnya.

Pemerintah di depan awak media, selalu menggunakan sebuah topeng kebahagian. Dan selalu menyanyikan sebuah kata-kata buayan, “demi kepentingan Negara, yang sedang membangun kemandirian ekonomi, sehingga perlu dukangan dari para investor”. Yang membuat si joko, layaknya seorang pedagang baju di pasar malam. dengan iming-iming keamanan dan segala kemudahan, dia jaminkan itu kepada para investor. Kita, dan segala sumber daya alam di negara ini, telah dilelang dengan harga termurah.

Kita mungkin dapat melawan, tapi bagaimana dengan masyarakat adat? Hanya doa dan dukungan para leluhur, mereka tetap melawan.

Tidak sedikit masyrakat adat, menjadi korban penindasan, intimidasi, dan kriminalisasi. Dengan segala keterbatasannya, Mereka melawan! Memberontak! Atas sebuah ketidakadilan, dan perampasan hak yang dilakukan oleh para korporasi-korporasi. Dimana para korporasi tersebut, berlindung di balik kebesaran sang penguasa. Baik itu penguasa tingkat daerah maupun tingkat nasional.

Dimulai dengan Kriminalisasi terhadap masyarakat adat dayak meratus, dimana baru-baru ini warga dayak meratus dengan nama trisno baru saja di putus oleh majelis hakim selama 4 tahun. Pak trisno di kriminalisasi karena berupaya mempertahankan hak-hak masyarakat adat dayak meratus, serta melawan PT. KODECO TIMBER yang memiliki kepentingan di wilayah tersebut. Selain pak trisno ada 2 lagi yang bernama Manasse Boekit dari Tanah Bumbu dan Arif dari Dayak Meratus kini berstatus tersangka di Kepolisian Resort Kotabaru. Sama seperti Trisno, Manasse dan Arif berjuang mempertahankan haknya sebagai Masyarakat Adat, namun dikriminalisasi oleh UU nomor 44 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Mungkin sang hakim, merupakan orang yang malas membaca! Dia tidak membaca putusan Mahkamah Agung Nomor 35/PUU-X/2012. Yang pada pokoknya, menyebutkan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat. Sehingga hutan tersebut, bukanlah lagi sebuah hutan negara. Sehingga pantaslah Pak Trisno, dkk, tidak ditangkap dan dihukum. Karena wilayah hutan yang dimasuki, termasuk kedalam hutan adat. Sebagaimana yang telah diputuskan, oleh Hakim Mahkamah Konstitusi.

Mas Joko, mimpi mu terlalu indah. Saat ini, Pak Trisno Sedang tertidur lelap. Di dalam hotel mewah, dengan makanan yang nikmat.

Selanjutnya, konflik yang terjadi di Luwu Utara. Masyarakat Adat Seko terancam terusir dari wilayah adatnya, bila terealisasi pembangunan PLTA. Berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Luwu Utara, pembangunan PLTA akan tetap dilaksanakan oleh dua perusahaan swasta, yaitu PT Seko Power Prima dan PT Seko Power Prada. Pada 19 Oktober 2016, amisandi menjadi orang yang pertama di tangkap karena konflik ini, dia ditangkap pasca upaya mediasi yang dilakukan. Selain aminsandi sebelas warga Seko ditahan karena menolak pembangunan PLTA tersebut. Padahal, saat itu mereka datang ke Polres Luwu Utara hanya untuk memenuhi panggilan sebagai saksi.

Perlawanan selanjutnya, oleh masyarakat adat Rendu. Perjuangan panjang masyarakat adat rendu yang menolak sebuah pembangunan waduk sekitar 490 hektar, melawan pemerintah daerah setempat. pembangunan waduk raksasa ini telah diwacanakan sejak 1999 hingga sekarang.

Dan yang paling menjadi perhatian, di tahun-tahun ini adalah Perjuangan masyarakat kendeng. mereka mempertahankan kelestarian lingkungannya, dari cengkraman perusahaan semen indonesia atas upaya eksploitasi. Peristiwa perlawanan ini sangat terlihat jelas, seorang ganjar selalu mengakali putusan pengadilan. Dia memanfaatkan jaringan satu kepartaian dengan mas joko. Permasalahan kendeng yang sudah di putus di pengadilan, dengan santainya si mas joko menyerahkan permasalahan kendeng kepada hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS terkesan lebih tinggi dari pada hasil putusan para hakim di pengadilan.

Soo pengadilan yang bermatabat atau pengadilan seperti martabak yang anda maksud kaka koko?

Korporasi dan pemerintah, menjadi lawan yang tidak seimbang, bagaimana tidak? Mereka dapat dengan mudah bersekutu, dalam peraturan yang menindas. Mereka dengan mudah, menyebarkan paham yang melindungi kepentingan mereka. Mereka dengan mudah membeli, kebijakan yang tanpa kebijaksanaan. Lalu bagaimana dengan masyarakat adat?

Masyarakat adat, yang sudah hidup di wilayah terpencil. Untuk mempertahankan kehidupannya, masih selalu disingkirkan. Untuk hidup dalam sebuah wilayah saja, masih banyak korporasi dan kepentingan pemerintah yang mengganggu mereka. Tidak hanya itu, sebagai bagian dari negara ini. dimana identitas menjadi suatu hal yang penting. Eksistensi mereka, sebagai masyarakat adat  selalu diabaikan akan keberadaannya.

Walaupun begitu, perlu diingat. Bahwa mereka telah ada sejak lama, serta kemampuan masyarakat adat dalam hal pengelolaan dan pemanfaat sumber daya alam. Lebih jauh dari kemampuan, para korporasi di dunia ini. walaupun dengan alat produksi yang seadanya tetap bisa menghidupi mereka, yang mungkin saja sudah berlangsung selama beratus-ratus tahun lamanya. Sangat berbeda dengan korporasi-korporasi yang dalam mengambil sumber daya alam lebih bersifat eksploitasi yang berujung perusakan dan berdampak negatif bagi masyarakat setempat.

Mereka yang lebih dahulu ada, jauh sebelum adanya negara ini. Bukan harta yang melimpah, mobil mewah, ataupun gedung megah yang mereka inginkan. Melainkan hanya sebuah pengakuan, perlindungan, dan kesejahteraan dari negara yang bernama INDONESIA.

Comments

Popular Posts

Toko Buku Online Belbuk.com Toko Buku Online Belbuk.com