Makalah Tentang Pemilihan Umum (Pemilu)
Berikut ini Adalah Contoh Makalah yang Berkaitan dengan Hukum Tata Negara maupun Ilmu Politik
A. Pendahuluan
- Adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
- Adanya pemisahan kekuasaan negara berdasarkan prinsip trias politika;
- Dalam Urusan penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan kepada sebuah aturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur); dan
- peradilan administrasi negara.
Sehingga dalam menjalankan segala urusan pemerintahan, Haruslah berlandaskan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga sebagai mana yang termaktub di dalam Konstitusi tertinggi di Negara ini, yang menyebutkan bahwa "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah."
Pemilihan umum adalah suatu sarana penyampaian hak-hak demokrasi rakyat. Secara Etimologis Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata ”demos” (rakyat) dan ”kratos” (pemerintahan). Sehingga demokrasi diartikan secara sederhana adalah pemerintahan oleh rakyat (rule of the people). Sehingga mewujudkan pemilu demokratis yang jujur dan adil bertujuan untuk menghindari terjadinya legitimasi pemilu karenanya masalah-masalah penegakan hukum pemilu harus diselesaikan secara menyeluruh melalui identifikasi yang menjadi pemicu permasalahan dan dicari solusi agar hukum bisa ditegakkan.
Pemilu secara langsung merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara yang mempunyai integritas, profesionalitas dan akuntabilitas.
Indonesia sudah melalui beberapa fase pemerintahan, namun baru dilaksanakan pemilu secara langsung dan menyeluruh untuk untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah secara serentak baru akan dilaksanakan pada tahun 2019. Namun kali ini kita akan membahas mengenai Pemilu pasca reformasi, mengingat hal reformasi merukan momentum bersejarah di negara ini.
Sehingga dalam membahasnya, yang menjadi Rumusan masalahnya ada sebagai berikut :
Setelah reformasi sistem pemilu Indonesia selalu berubah setiap kali pemilu. Pada prinsipnya perubahan tersebut dapat digambarkan dalam tabel berikut :
- Bagaimanakah sistem pemilu pasca reformasi?
- Bagaimanakah peserta pemilu pasca reformasi?
C. Pembahasan
Sistem Pemilu Pasca Reformasi
Pasca pemerintahan Soeharto 1999, 2004 dan 2009 terdapat perubahan terhadap sistem pemilu di Indonesia yakni terjadinya modifikasi sistem proporsional di indonesia, dari proporsional tertutup menjadi proporsional semi daftar terbuka. Dilihat dari daerah pemilihan terdapat perubahan antara pemilu 1999 dengan masa orde baru.
Pada orde baru yang menjadi daerah pilihan adalah provinsi, alokasi kursinya murni di dasarkan pada perolehan suara di dalam satu provinsi, sedangkan di tahun 1999 provinsi masih sebagai daerah pilihan namun sudah menjadi pertimbangan kabupaten/kota dan alokasi kursi dari partai peserta pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di masing-masing provinsi tetapi mulai mempertimbangkan perolehan calon dari masing-masing kabupaten /kota.
Pada pemilu 2004 daerah pemilihan tidak lagi provinsi melainkan daerah yang lebih kecil lagi meskipun ada juga daerah pemilihan yang mencangkup satu provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, kepulauan Riau, Yogyakarta, Bali, NTB, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi Utara dan Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya Barat.
Masing-masing daerah pilihan mendapat jatah antara 3-12 kursi. Pada pemilu 2009 besaran daerah pemilihan untuk DPR diperkecil antara 3-10. Perbedaan lain berkaitan dengan pilihan terhadap kontestan. pada pemilu 1999 dan orde baru para pemilih cukup memilih tanda gambar kontestan pemilu. Pada tahun 2004 para pemilih boleh mencoblos tanda gambar kontestan pemilu dan juga mencoblos calonnya.
Hal ini dimaksudkan agar pemilih dapat mengenal dan menetukan siapa yang menjadi wakil di DPR dan memberikan kesempatan pada calon yang tidak berda di nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP), dikatakan perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai didalam perolehan kursi di DPR/D tidak didasarkan para perolehan suara tebanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut, kalupun di luar nomer urut harus memiliki suara yang mencukupi BPP.
Sistem proporsional semi daftar terbuka sendiri pada dasarnya merupakan hasil sebuah kompromi. Dalam pembahasan RUU mengenai hasil pemilu pada 2002, PDIP, GOLKAR, PPP terang-terangan menolak sistem daftar terbuka, dikarenakan penetuan caleg merupakan hak partai peserta pemilu. Memang jika diberlakukannya sistem daftar terbuka akan mengurangi otoritas partai di dalam menyeleksi caleg mana saja yang di pandang lebih pas duduk di DPR/D. Tetapi tiga partai itu akhirnya menyetujui perubahan hanya saja perubahannya tidak terbuka secara bebas melainkan setengah terbuka.
Perubahan-perubahan disain kelembagaan seperti itu pada kenyataannya tidak membawa perubahan yang berarti. ada beberapa penyebab diantaranya yaitu pada kenyataannya para pemilih tetap lebih suka memilih tanda gambar dari pada menggabungkannya dengan memilih calon yang ada di dalam daftar pemilih karena lebih mudah. Selain itu, di lihat dari tingkat keterwakilan masih mengandung masalah. Permasalahan ini khususnya berkaitan dengan perbandingan jumlah suara dengan jumlah alokasi kursi di DPR/D kepada partai-partai.
Di sisi lain juga nilai BPP antara daerah pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lain memiliki perbedaan. mengingat sistem. hal ini terkait dua hal yakni pertama terdapat upaya untuk mengakomodasi gagasan adanaya keterwakilan yang berimbang antara Jawa dan luar Jawa, kedua secara kelembagaan terdapat keputusan bahwa satu daerah pemilihan mininal memiliki 3 kursi. Implikasinya adalah terdapatnya daerah pemilih bahwa BPP nya berada di bawah rata-rata BPP nasional tetapi ada juga yang berada dia atas BPP nasional.
Mengingat sistem pemilu yang sudah di modifikasi dan mengalami sedikit perbaikan itu masih tidak terlepas dari kekurangan, terdapat usul untuk melakukan modifikasi sistem proporsional lanjutan. Kalau pada pemilu 2004 sudah dipakai sistem daftar setengah terbuka, untuk pemilu-pemilu selanjutnya usulan digunakannya sistem daftar terbuka. Di dalam sistem ini digunakan nomor urut di dalam daftar calon tidak lagi dijadikan ukuran untuk menjadikan calon mana yang mewakili partai di dalam perolehan kursi sekitarnya tidak ada calon yang memenuhi BPP yang di jadikan ukuranya adalah calon yag memperoleh suara terbanyak.
Keputusan sebagaimana yang terdapat di dalam UU no 10 tahun 2008 mengalami perubahan setelah hampir setahun, kemudian MK mengabulkan tentang suara terbanyak sebagai patokan untuk mengalokasikan kursi kepada partai-partai yang memperoleh kursi. Keputusan ini menjadikan sistem pemilu di Indonesia benar-benar masuk kedalam kategori sistem proporsional daftar terbuka. Calon yang memperoleh suara terbanyak yang akan lolos menjadi anggota DPR/D dari partai yang memperoleh alokasi kursi.
Setelah reformasi sistem pemilu Indonesia selalu berubah setiap kali pemilu. Pada prinsipnya perubahan tersebut dapat digambarkan dalam tabel berikut :
1999
|
2004
|
2009
| |
Struktur Surat Suara
|
Memilih partai (Party Ballot)
Closed List
|
Memilih partai atau partai dan nama calon
Open List
|
Memilih nama calon atau partai
Open List
|
Rumus Penentuan Calon Terpilih
|
Berdasar Nomer Urut
Proporsoional
|
Berdasar No Urut
Campuran Proporsional – Distrik
|
Suara Terbanyak
Campuran Proporsional – Distrik
|
Luasan Dapil
|
3-12 / dapil
|
DPR : 3-10 /dapil
DPRD : 3-12kursi /dapil
| |
Jumlah Peserta Pemilu
|
48
|
24
|
36
|
Keterwakilan Perempuan
|
DPR : 9 %
|
DPR : 11 %
|
DPR : 18 %
|
1. Pemilu 1999
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie.
Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik, antara lain: Partai Indonesia Baru, Partai Pekerja Indonesia, Partai Kristen Nasional Indonesia, Partai Umat Muslimin Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Aliansi Demokrat Indonesia, Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia, Partai Kebangkitan Muslim Indonesia, Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia, Partai Ummat Islam, Partai Nasional Bangsa Indonesia, Partai Kebangkitan Umat, Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia, Partai Masyumi Baru, Partai Keadilan dan Persatuan, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Cinta Damai, Partai Syarikat Islam indonesia, Partai Daulat Rakyat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong, Partai Buruh Nasional, Partai Abul Yatama, Partai Uni Demokrasi Indonesia, Partai Kebangsaan Merdeka, Partai Demokrasi Kasih Bangsa, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan, Partai Golongan Karya, Partai Rakyat Demokrat, Partai Syarikat Islam Indonesia (1905), Partai Demokrasi Indonesia, Partai Musyawarah Rakyat Banyak, Partai Katolik Demokrat, Partai Nasional Indonesia – Massa Marhaen, Partai Islam Demokrat, Partai Rakyat Indonesia, Partai Politik Islam Indonesia Masyumi, Partai Republik, Partai Bulan Bintang , Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Solidaritas Pekerja , Partai Nasional Indonesia – Front Marhaenis, Partai Keadilan, Partai Nahdlatul Ummat.
Pemilihan umum yang kedua pasca adanya reformasi yaitu pemilu tahun 2004 yang dipimpin oleh Presiden RI ke-5 yaitu Megawati Soekarno Putri. Perubahan politik dalam pemilu 2004 sudah cukup terlihat saat itu, dimana sistem pemilunya rakyat memilih langsung siapa Presidennya. Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) terpilih langsung dari rakyat untuk menjadi Presiden. Sebelum pilpres (Pemilihan Presiden) secara langsung, terlebih dahulu diadakan pemilihan partai dan dewan.
Pemilihan Umum tahun 2004 merupakan eksperimen demokrasi Indonesia baru. pemilu 2004 merupakan pemilu kedua setelah Presiden Suharto lengser, meskipun demikian, pada pemilu kedua ini memiliki perbedaan yang sangat jauh dalam banyak hal dengan pemilu 1999. Hal ini karena pemilu 2004 merupakan pemilu pertama setelah amandemen ke-4 UUD 1945. Melalui amandemen struktur politik Indonesia dirubah sedemikian rupa sehingga mempengaruhi proses rekruitmen elit politik.
Beberapa perubahan penting dalam amandemen yang berkaitan dengan pemilu adalah dalam hal mekanisme pemilihan presiden-wakil presiden dan dibentuknya lembaga baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Perubahan terjadi juga pada pola rekruitmen kepala daerah yang efektif dilakukan setelah pemilu nasional 2004. Menurut konstitusi 1945 hasil amandemen ke-4, pemilihan pasangan presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Konstitusi mengamanatkan pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh rakyat secara langsung melalui mekanisme pemilu.
Terkait dengan DPD, kehadiran lembaga ini menjadikan konsep perwakilan yang dianut Indonesia bergeser dari unicameral menjadi bicameral. Secara prinsip, konsep perwakilan yang ada di DPD, sesuai namanya, adalah wujud dari representasi ruang/daerah. Ide perwakilan ruang ini terbentuk untuk mengkompensasi kelemahan dalam perwakilan politik yang ada di DPR. Di dewan terjadi ketidak seimbangan antara perwakilan politik yang berasal dari Jawa dan luar Jawa.
Akibatnya, jumlah wakil yang ada di DPR lebih banyak berasal dari daerah Pulau Jawa dibandingkan wakil dari daerah luar Pulau Jawa. Dengan hadirnya DPD, ketidak seimbangan itu berusaha diatasi. Pemilu 2004 dapat dikatakan sebagai jalan yang sama sekali baru bagi Indonesia dalam menapaki demokrasi perwakilan. Kebaruan itu pada suatu sisi adalah akibat dari dampak perubahan konstitusi seperti yang disebutkan diatas, dan pada sisi yang lain adalah efek dari kebebasan terhadap metode berpolitik aktor-aktor politik dan civil society.
Pemilu 2004 diikuti oleh 24 peserta partai politik, yaitu : Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Partai Buruh Sosial Demokrat Indonesia, Partai Bulan Bintang, Partai Merdeka, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, Partai Perhimpunan Indonesia Baru, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Amanat Nasional, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bintang Reformasi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Damai Sejahtera, Partai Golongan Karya, Partai Patriot Pancasila, Partai Sarikat Indonesia, Partai Persatuan Daerah, Partai Pelopor
3. Pemilu 2009
Pemilihan umum yang ketiga pasca adanya reformasi yaitu pemilu tahun 2009, formatnya masih sama yaitu ada pilpres dan pemilihan partai politik, akan tetapi ada penambahannya yaitu pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Pemilu 2009 dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pesertanya bertambah dari 36 menjadi 48 partai politik. Untuk pilpres, Presiden Susulo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi Presiden untuk kedua kalinya, untuk masa bakti 2009-2014.
Pemilihan Umum tahun 2009 merupakan masa akhir elit lama, berseminya elit baru. Menyongsong pemilu 2009, DPR melakukan perubahan regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu. Perubahan itu dimaksudkan untuk dapat menjawab persoalan-persoalan mendasar yang muncul dalam pemilu sebelumnya. Beberapa persolan yang muncul dalam sistem pemilu sebelumnya diantaranya berupa representasi wakil rakyat, proporsionalitas nilai kursi, pembentukan kepartaian yang efektif, dan sebagainya, berusaha diatasi.
Dalam proses menuju pemilu 2009 terdapat dinamika politik yang perlu menjadi catatan. Dinamika itu terutama terkait dengan KPU dan partai politik. Adapun beberapa dinamika itu adalah sebagai berikut. Pertama, terjadinya delegitimasi pemilu. Delegitimasi itu muncul pasca putusan Mahkamah yang membatalkan otomatisasi partai yang tidak lolos electoral threshod (ET) tetapi mendapatkan kursi di DPR untuk menjadi peserta pemilu 2009.
Terdapat sembilan partai yang masuk dalam katagori ini, yaitu PKPB, PKPI, PNI-Marhaenisme, PPDI, PPDK, PP, PS, PBR, dan PBB. Terhadap partai-partai tersebut, KPU seharusnya melakukan verifikasi keabsahan keikutsertaannya dalam pemilu. Bukannya melakukan verifikasi, KPU justru mengikutsertakan partai-partai peserta pemilu 2009, yaitu Partai Merdeka, PNUI, PSI, dan Partai Buruh. Dengan demikian, dalam pemilu 2009 terdapat peserta selundupan, dan itu menjadikan pemilu mengalami delegitimasi karena diikuti oleh partai yang tidak melalui proses verifikasi padahal waktu untuk melakukan hal itu masih tersedia. Prinsip fairness telah ditabrak oleh KPU.
Kedua, adanya dualisme penetapan calon jadi, yaitu antara sistem nomor urut bersyarat vs sistem suara terbanyak. Dalam penetapan calon terpilih, Undang-undang pemilu memakai prinsip ini, sebuah partai yang mendapatkan kursi maka penetapan calon terpilih diberikan kepada mereka yang berda di nomor urut kecil atau atas dengan syarat mereka mendapatkan sura 30% BPP lebih banyak daripada perolehan kursi partai maka penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut. Pengecualian diberikan kepada mereka yang mendapatkan 100% dari BPP yang secara otomatis ditetapkan sebagai calon terpilih meskipun berada di nomor urut besar.
Ditengah perjalanan ketika penominasian kandidat sedang dilakukan, beberapa partai politik menyatakan diri tidak akan memakai sistem seperti yang diatur dalam Undang-undang Pemilu. Beberapa partai seperti PAN, Golkar, PBR, dan PD berencana memakai sistem suara terbanyak dalam menetapkan calon jadi/terpilih. Sementara itu, partai-partai lain seperti seperti PDIP, PKS dan PPP tetap akan menggunakan sistem nomor urut bersyarat. Sistem suara terbanyak dipakai terutama untuk meminimalisasi konflik internal partai dalam penyusunan daftar calon legislatif dan untuk menggerakkan mesin partai mendapatkan suara pemilih sebanyak-banyaknya.
Ketiga, menjamurnya calon anggota legislatif dari kalangan artis dan kerabat elit politik. Dalam rangka meraih suara sebanyak-banyaknya, banyak partai memunculkan artis dalam daftar calon anggota legislatif. Dengan modal popularitas yang mereka miliki, para artis itu dianggap mampu menarik suara pemilih. Selain itu, partai politik juga menempatkan calon-calon yang memiliki hubungan darah dengan elit politik yang saat ini sedang berkuasa di pemerintahan maupun partai.
Jumlah pemilih pada pemilu 2009 mencapai 170.022.239 orang, tersebar di 33 provinsi. Penentuan pemilih didasarkan pada verivikasi KPU terhadap data kependudukan yang disediakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Mereka yang berhak menjadi pemilih adalah warga negara Indonesia, pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 tahun atau lebih (sudah/pernah kawin). Untuk menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih. Sistem pendaftaran pemilih adalah campuran stelsel pasif dan aktif. Mereka didaftar oleh KPU berdasarkan prinsip de jure.
Pada pemilu ini peserta pemilu tergantung pada jenis pemilunya. Untuk Pemilu DPR/D pesertanya adalah parati politik sedangkan pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Sementara itu pada pemilu presiden dan wakil presiden pesertanya adalah pasangan calon yang mendapatkan dukungan dalam jumlah tertentu dari partai politik. Peserta Pemilu DPR. Pada tingkat nasional, peserta pemilu 2009 berjumlah 38 partai politik. dari jumlah tersebut, secara katagoris dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Pertama, partai-partai yang lolos electoral threshold sebesar 2% kursi DPR dalam pemilu sebelumnya. Pada katagori ini, terdapat 7 partai yang lolos electoral threshold yaitu Golkar, PDIP, PPP, PKB, PAN, PD, dan PKS.
Kedua, partai-partai baru berdiri dan lolos berdasarkan syarat-syarat keikutsertaan dalam pemilu. Syarat keikutsertaan dalam pemilu itu meliputi: memiliki kepengurusan di 2/3 jumlah provinsi, dan memiliki kepengurusan di 2/3(dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik, sebagai bagian dari affirmative action gerakan perempuan, partai politik juga harus menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat, paratai harus mempunyai kantor tetap untuk setiap level kepengurusan serta mengajukan nama dan tanda gambar partai kepada KPU. Masuk dalam katagori ini terdapat 27 partai.
Kelompok partai yang pada pemilu 2004 mendapatkan kursi di DPR tetapi perolehan kursinya tidak mencapai electoral threshold 2%. Terdapat 10 partai yang masuk dalam katagori ini. Terakhir, kelompok partai dari peserta pemilu 2004 yang tidak lolos electoral threshold dan tidak mendapatkan kursi di DPR, terdapat 4 partai dalam katagori ini, yaitu Partai Merdeka, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Serikat Indonesia, dan Partai Buruh. Kelompok partai ini dapat menjadi peserta pemilu 2009 karena gugatan mereka atas ketidak adilan dari pasal 316 huruf d dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Atas putusan MK tersebut, KPU tanpa melakukan verivikasi keabsahan syarat-syarat ikut serta dalam pemilu 2009 mengesahkan mereka menjadi peserta pemilu 2009.
Sebelumnya terdapat 51 partai politik yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum / KPU untuk dapat turut serta dalam Pemilu tahun 2009, yaitu :
- 7 Parpol berdasarkan pasal 315 UU Pemilu (Partai Partai Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera),
- 9 Parpol yang memenuhi pasal 316 huruf D Undang-Undang Pemilu(Partai Bulan Bintang, Partai Bintang Reformasi, Partai Damai Sejahtera, Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, Partai Pelopor, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia),
- 35 parpol baru yang lolos verifikasi administratif KPU (Partai Hanura, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Pemersatu Bangsa, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Pemuda Indonesia, Partai Demokrasi Kebangsaan Bersatu, Partai Matahari Bangsa, Partai Republiku Indonesia, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia, Partai Persatuan Daerah, Partai Buruh, Partai Nurani Umat, Partai Patriot, Partai Kebangkitan Nasional Ulama, Partai Kristen Demokrat, Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia, Partai Karya Perjuangan, Partai Barisan Nasional, Partai Republik Nusantara, Partai Perjuangan Indonesia baru, Partai Bhinneka Indonesia, Partai Kedaulatan, Partai Nusantara Kedaulatan Rakyat Indonesia, Partai Kasih Demokrasi Indonesia, Partai Merdeka, Partai Kristen Indonesia 1945, Partai Reformasi, Partai Pembaruan bangsa, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Demokrasi Perjuangan Rakyat, Partai Indonesia Tanah Air Kita, Partai Persatuan Sarikat Indonesia, Partai Kasih, Partai Kongres),
- Daftar 11 parpol yang tidak lolos verifikasi KPU (Partai Islam, Partai Kristen Demokrasi indonesia, Partai Tenaga Kerja Indonesia, Partai Masyarakat Madani, Partai Pemersatu Nasional Indonesia, Partai Republik, Partai Bela Negara, Partai Nasional Indonesia, Partai Persatuan Perjuangan Rakyat, Partai Kerakyatan Nasional, Partai Reformasi Demokrasi),
- 2 partai politik mengundurkan diri tidak berbadan hukum Depkum HAM (Partai Kemakmuran Rakyat dan Partai Islam Indonesia Masyumi).
C. KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten (Kota, Presiden dan Wakil Presiden, DPD. Pemilu secara langsung merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara yang mempunyai integritas, profesionalitas dan akuntabilitas. Pengawasan menjadi salah satu terpenting dalam menentukan berhasil atau tidaknya sebuah pemilu. Reformasi yang terjadi adalah sebuah negosiasi kekuasaan elit lama yang merasa kecewa atas seniornya, sehingga regulasi yang berjalan harus dibayar dengan kelaparan di berbagai daerah. Pasca reformasi yang harapannya akan ada format baru bagi dunia politik ternyata mengalami kebuntuan. Hal ini dapat dilihat dari partai politik yang menjadi bangunan dasar demokrasi, belum mampu untuk menjalankan fungsinya dengan baik.
Negara harus dapat mewujudkan pemilu demokratis yang jujur dan adil bertujuan untuk menghindari terjadinya legitimasi pemilu karenanya masalah-masalah penegakan hukum pemilu harus diselesaikan secara menyeluruh melalui identifikasi yang menjadi pemicu permasalahan dan dicari solusi agar hukum bisa ditegakkan. Atas desakan publik, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie segera mempercepat pelaksanaan pemilu yang baru. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Comments
Post a Comment