Toko Buku Online Belbuk.com Toko Buku Online Belbuk.com

Pembelaan Diri (Self Defense Nodweer) karena Keadaan Memaksa Berdasarkan Hukum Pidana

Sumber Gambar : beritagar.id

Duel Maut yang Terjadi di Menangkan oleh Korban, Sungguh Apes! Sang Korban yang Merupakan Pelaku Sebuah Tindak Kejahatan.

Masih teringat peristiwa di daerah Kota Bekasi, mengenai seorang korban pembegalan yang membela diri sehingga membuat sang pembegal menemui ajalnya? atau peristiwa yang dialami oleh Deni Rono Dharana yang memergoki pencuri di dalam rumahnya yang. Merasa kaget, pencuri yang tersudut kemudian menyerang. Tak kalah gesit, Deni balas melawan. Mereka berduel sekitar setengah jam. Keduanya memperebutkan senjata tajam yang terdapat di dalam kamar, akhirnya pencuri tertusuk dan tewas?

Kedua Peristiwa tersebut, memberitakan mengenai pembunuhan yang dialami oleh seorang pelaku tindak kejahatan. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana pembunuhan, telah diatur antara lain dalam Pasal 338 KUHP, “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”

Namun berdasarakan kedua peristiwa di atas pula, memberikan kepada kita bahwa terdapat unsur pemaaf dalam hukum pidana di negara ini. Hal tersebut selaras dengan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana itu sendiri, sehingga berdasarkan asas tersebut Setiap perbuatan tidak dapat dipidana kecuali ada peraturan perundang-undangan yang telah mengaturnya terlebih dahulu.

Sehingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia, tidak hanya mengatur mengenai tindakan-tindakan yang termasuk ke dalam tindakan pidana saja. KUHP juga mengatur pula hal-hal yang dapat menghapuskan, mengurangi atau memberatkan suatu pidana itu sendiri adalah sebagai berikut :

BAB III
HAL-HAL YANG MENGHAPUSKAN, MENGURANGI ATAU MEMBERATKAN PIDANA

Pasal 44
  1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena daya akalnya (zijner verstandelijke vermogens) cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
  2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
  3. Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Pasal 45
(tidak berlaku lagi menurut UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak)

Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

Pasal 46
(tidak berlaku lagi menurut UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak)
  1. Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.
  2. Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 47
(tidak berlaku lagi menurut UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak)
  1. Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga.
  2. Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
  3. Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan.
Pasal 48

Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa (overmacht), tidak dipidana.

Pasal 49
  1. Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
  2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Pasal 50

Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.

Pasal 51
  1. Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
  2. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Pasal 52

Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya , atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.

Pasal 52a

Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut ditambah sepertiga.

Berdasarkan pasal-pasal di atas dalam ilmu hukum pidana yang berpatok kepada KUHP sebagai salah satu sumber hukum pidana, dikenal alasan penghapus pidana yang di golongkan menjadi dua, yaitu :
  1. Alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukumsuatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50 KUHP);
  2. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).
Serta sebagaimana pendapat dari R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal", menyebutkan Tentang Pasal 49 ayat (1) KUHP, berkomentar antara lain bahwa supaya orang dapat mengatakan dirinya dalam “pembelaaan darurat” dan tidak dapat dihukum harus dipenuhi tiga syarat::
  1. Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain.
  2. Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain.
  3. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga.
Sehingga R. Soesilo (masih berdasarkan buku yang sama) menyebutkan :
"Jika alasan penghapus pidana ini kemudian terbukti, maka hakim akan mengeluarkan putusan yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Bukan putusan bebas alias vrijspraak. Jadi, hakimlah yang harus menguji dan memutuskan hal ini, sedangkan polisi hanya mengumpulkan bahan-bahannya untuk diajukan kepada hakim."

Namun penulis sendiri sependapat dengan seorang Ahli pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, yang di akses melalui tirto.id yang menyebutkan bahwa :
"Berdasarkan azas efektivitas dan efisiensi seharusnya korban begal tidak ditetapkan sebagai tersangka. Secara yuridis sudah terbukti kalau korban adalah pelaku kejahatan, dan kalaupun dibawa ke pengadilan pelaku akan dilepaskan karena ada alasan pemaaf,"

Demikianlah tulisan kali ini di buat, semoga dapat membantu kepada kita semua memahami sebuah peristiwa berdasarkan hukum yang berlaku di negara ini. akhir kata terimakasih.

Comments

Popular Posts

Toko Buku Online Belbuk.com Toko Buku Online Belbuk.com