Somasi
Surat Teguran atas Kelalaian itu disebut Somasi
Pada kesempatan kali ini, yang akan dibahas adalah mengenai somasi. Dimana somasi merupakan sebuah langkah yang harus di lalui sebelum melakukan langkah hukum lainnya. Namun perihal Istilah somasi ini, tidaklah diatur di dalam Hukum Perdata di Indonesia yang bersumber pada Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (disingkat BW) atau disebut sebagai KUH Perdata.
Somasi adalah sebuah teguran terhadap pihak calon tergugat pada proses hukum. Tujuan dari pemberian somasi ini adalah pemberian kesempatan kepada pihak calon tergugat untuk berbuat sesuatu atau menghentikan suatu perbuatan sebagaimana tuntutan pihak penggugat. Cara ini efektif untuk menyelesaikan sengketa sebelum perkara diajukan ke pengadilan. Somasi bisa dilakukan individual atau kolektif baik oleh kuasa hukum maupun pihak yang dirugikan (calon penggugat). Dasar hukum somasi terdapat dalam Pasal 1238 KUHPerdata. Pasal 1238 BW, yaitu yang berbunyi :
“Si berutang dinyatakan dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia berada dalam keadaan lalai demi perikatannya sendiri, jika perikatan itu membawa akibat, bahwa si berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang ditentukan saja“
Somasi merupakan teguran agar debitur berprestasi, maka somasi baru mempunyai arti, kalau debitur belum berprestasi. Kalau debitur sudah berprestasi, untuk apa mesti diperingatkan untuk berprestasi. Debitur wanprestasi kalau debitur:
- Terlambat berprestasi;
- Tidak berprestasi;
- Salah berprestasi.
Selanjutnya yang sangat berhubungan erat mengenai somasi, sebagaimana yang disebutkan di atas. Bahwa peristiwa hukum yang penting adalah keadaan lalai, dimana Keadaan lalai berkaitan dengan jatuh temponya kewajiban perikatan debitur, dengan kata lain berkaitan dengan matangnya tagihan yang bersangkutan. Kalau belum tiba saatnya kewajiban perikatan debitur dilaksanakan, maka debitur tidak bisa dinyatakan dalam keadaan lalai sebagaimana hal yang dimaksud berdasarkan Pasal 1270 BW
Ps. 1238 BW mengajarkan, bahwa “keadaan lalai“-nya debitur berkaitan dengan masalah “perintah“ (bevel) yang dituangkan secara tertulis. Kata “perintah“ mengandung suatu peringatan dan karenanya “bevel“ juga bisa diterjemahkan dengan “peringatan“. Karena di sana dikatakan, bahwa perintah/peringatan itu ditujukan kepada debitur (si berhutang) dan debitur (si berhutang) adalah pihak yang dalam perikatan mempunyai kewajiban prestasi, maka tentunya “ perintah/peringatan“ itu datang dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hak (tuntut) atas prestasi.
Walaupun pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan mengenai isi perintah kreditur, namun dengan demikian sehubungan kedudukan para pihak dalam perikatan yang bersangkutan bisa kita simpulkan, dimana perintah kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai setelah ada perintah/peringatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya.
Perintah atau peringatan (surat teguran) itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut “somasi“. Somasi yang tidak dipenuhi tanpa alasan-alasan yang sah membawa debitur berada dalam keadaan lalai, dan sejak itu semua akibat kelalaian (wanprestasi) berlaku. Jadi, somasi merupakan peringatan atau teguran agar debitur berprestasi pada suatu saat yang ditentukan dalam surat somasi. Atau dapat dikatakan bahwa somasi merupakan sarana untuk menetapkan debitur berada dalam keadaan lalai (kalau somasi tidak dipenuhi).
Perlu dipahami bahwa surat yang tidak berisi perintah/teguran agar debitur berprestasi bukan merupakan somasi. Surat yang berisi kata-kata “kami menunggu penyerahan pesanan kami“ tidak berlaku sebagai suatu somasi. Namun pernyataan dalam gugatan, yang tidak dibantah oleh debitur, bahwa debitur-pemimpin-gudang telah menolak permintaan, yang diajukan berkali-kali, untuk menyerahkan barang yang dititipkan dalam gudangnya, sudah dianggap sebagai suatu somasi (R.v.J. Surabaya 28 Agustus 1912, dalam T. 106 : 367).
Sehingga yang disebut surat perintah tidak selalu harus memakai nada memerintah. Adapun contohnya adalah: “kami menunggu kiriman paling lambat tanggal….. yang akan datang.”, sudah cukup untuk dinilai sebagai suatu peringatan kapan selambat-lambatnya debitur diminta untuk berprestasi. Yang penting dalam surat teguran nampak tuntutan kreditur akan prestasi debitur.
Wanprestasi tidak sama dengan tidak berprestasi. Jadi, kalau diatas dikatakan “orang yang lalai melaksanakan kewajibannya disebut telah wanprestasi“, ini tidak sama dengan mengatakan “orang yang tidak berprestasi dikatakan wanprestasi“, sebab didalam kata “lalai“ sudah terkandung unsur salah, dan karenanya tidak dibenarkan untuk tidak berprestasi (J. Satrio, 1993 : 251).
Mengenai orang/debitur yang lalai memenuhi kewajiban prestasinya. Lalai selalu mengandung unsur salah. Sehingga kalau debitur punya dasar yang dibenarkan undang-undang untuk tidak berprestasi, maka tidak dapat dikatakan debitur wanprestasi.
Banyak perjanjian ditutup tanpa menetapkan batas akhir kapan debitur harus berprestasi, BW menentukan bahwa ketentuan waktu itu harus ditafsirkan untuk keuntungan si berhutang sebagaimana Pasal 1270 BW menyebutkan:
“Suatu ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan si berutang, kecuali jika dari sifat perikatannya sendiri, atau dari keadaan, ternyata bahwa ketetapan waktu telah dibuat untuk kepentingan si berpiutang."
Perihal somasi perlu di perhatikan mengenai Exceptio non adimpleti contractus, dimana Exception non adimpleti contractus adalah suatu tangkisan, yang mengatakan anda sendiri belum berprestasi dan karenanya anda tidak patut untuk menuntut saya berprestasi. Eksepsi ini dikemukakan untuk melawan tuntutan kreditur akan pemenuhan perikatan. Sudah bisa diduga, bahwa tangkisan itu hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik saja.
Serta mengenai perihal perbaikan kelalaian, walaupun debitur diberikan hak untuk memperbaiki kelalaiannya, kiranya hak itu perlu dibatasi sampai sesaat sebelum kreditur menyatakan sikapnya atas wanprestasi debitur. Atas wanprestasi debitur, kreditur punya pilihan untuk :
- Tetap minta pemenuhan prestasi dari debitur, baik disertai atau tidak disertai dengan tuntutan ganti rugi; atau
- Menuntut pembatalan, baik disertai dengan atau tanpa tuntutan ganti rugi. Kalau kreditur sudah menyatakan menuntut pembatalan perjanjian, maka debitur tidak bisa lagi memaksakan perbaikan kelalaian, sebab kalau dimungkinkan seperti itu, maka debitur pada waktu disomir bisa tetap enak-enak saja, sebab nanti kalau kreditur ngotot minta pembatalan, toh prestasi masih bisa disusulkan.

Comments
Post a Comment